Belajar dari Kasus Imba-Abdi

Oleh: Mahyudin Damis

Melihat fenomena pencalonan Pilwako Manado saat ini, maka ingatan kolektif warga kota Tinutuan kembali ke tahun 2004. Saat pasangan Koalisi Imba-Abdi (Kirab) dari Partai Golkar mengalahkan pasangan Wempie Fredrik-Jeremia Damongilala dari PDI-P, yang berstatus incumbent.
Kemenangan Kirab tak luput dari money politics jumlah besar, selain bagi-bagi sembako. Saat ini, hampir semua ruang sudut kota terpampang wajah-wajah baru maupun wajah-wajah lama dengan ekspresi “senyuman memikat,” di masing-masing baliho, baik besar, sedang maupun kecil. Tak ketinggalan, para balon Gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Utara melakukan hal yang sama sehingga keindahan kota relatif berkurang. Begitu juga media elektronik dan cetak lokal juga dihiasi wajah dan suara para balon lengkap dengan slogan, visi dan misi mereka. Semua ingin meraih simpatii warga. Ada juga balon yang bagi-bagikan uang tunai kepada masyarakat luas dengan berbagai dalih.
(Ironisnya) masyarakat memahaminya sebagai tanda balon betul-betul ingin menyejahterahkan rakyat. “ini kwa baru bilang calon pemimpin, baru bagini so beking sanang tu rakyat pe hati, apalagi kalu dia so jadi ” (ini baru pemimpin, baru bakal calon sudah menyenangkan hati rakyat, apalagi kalau dia sudah terpilih).
Pernyataan masyarakat di atas, memunculkan pertanyaan mendasar; Pernahkah kita menghitung berapa jumlah uang yang sudah dikeluarkan para balon? Yakinkah mereka tidak akan mencari pengembalian plus keuntungan bila terpilih? Jawaban atas kedua pertanyaan itu, seharusnya membuka kesadaran kita! Bukankah lantaran penyelewengan dana APBD, Jimmy Rimba Rogi (Imba) kini menjadi tahanan KPK? Begitu juga Abdi, lepas tidak proseduralnya dan belum berkekuatan hukum tetap kasusnya, Abdi bukankah kini menjadi tahanan kejaksaan karena kasus dana PD Pasar dan Pos Bansos ?
Kalau warga mau jujur, hati kita menagis. Pilu melihat nasib kedua pemimpin kita kini tengah mendekam dalam tahanan. Padahal mereka adalah pemimpin kota Manado pertama dan pilihan kita sendiri. Hingga detik ini, mereka sebenarnya masih memimpin kita jika keduanya tidak diperhadapkan dengan persoalan hukum.
Merujuk Teori Konstruksi Sosial (Berger, 2005), sesungguhnya masyarakat Manado telah turut memberi andil sehingga pemimpinnya bisa berbuat demikian. Masyarakat telah “memaksakan” pemimpinnya melakukan “money politics”. Pemaksaan itu dipicu oleh kondisi ekonomi yang sedang dihadapinya. Artinya, sistem pemilihan, baik legislatif maupun eksekutif, ataupun sistem demokratisasi yang telah kita capai saat ini tidak berbanding lurus dengan laju pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, masyarakat harus menentukan skala prioritas, uang untuk makan, minum dan sedikit kelebihan dari Sang balon atau calon menjadi prioritas utama ketimbang mau menumbuhkan “kesadaran politik” (political conciusness).
Sekedar contoh, ada yang sukses tanpa mengeluarkan banyak uang seperti Untung Wiyono, I. Gede Winasa, dan Gamawan Fauzi (kini Mendagri) bisa jadi Bupati Sragen, Bupati Jembrana dan Bupati Solok tanpa mengeluarkan uang begitu banyak. Mereka keluarkan hanya biaya politik (cost politics), dan bukan money politics. Setelah jadi bupati mereka tak lagi disibukan dan menyita waktu untuk berpikir---bagaimana cara uang yang telah habis sosialisasi, kampanye dan membayar parpol sebagai kenderaan politik dan keuntungan guna pencalonan berikutnya.
Demikian pula halnya dengan David Akib Bobihu, yang kini berupaya keras membangun daerahnya, berhari-hari berkantor di kecamatan-kecamatan terpencil untuk melayani rakyatnya agar bisa lebih cepat sejahtera. Ketiga bupati tersebut tak lagi disibukan dengan uang kembali karena biaya politik yang mereka keluarkan relatif kecil. Bentuk pengabdian Bobihu patut ditiru oleh pejabat bupati dan walikota se-Sulut. Kabupaten Gorontalo yang baru mendapat penghargaan dari pemerintah pusat adalah salah satu kabupaten di Provinsi Gorontalo yang notabene lahir dari rahim Provinsi Sulawesi Utara beribukotakan Manado.
Ini adalah contoh-contoh konkret dari sebuah komitmen kuat guna melakukan perubahan dari segelintir anak bangsa. Selebihnya, ke depan tak perlu melakukan kesalahan yang serupa, atau terantuk pada lubang yang sama, karena kita bukanlah sekumpulan Keledai....Semoga...(*)

Artikel ini dipublikasikan di Tribun Manado 2010

1 Response to "Belajar dari Kasus Imba-Abdi"

Unknown mengatakan...

WAH AKASIH BANGET INFONYA GAN..
SALAM

Posting Komentar