Nani Wartabone Merekatkan Persaudaraan

“Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada disini, sudah merdeka bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, Pemerintah Belanda sudah diambil alih Pemerintah Nasional”.

Tak banyak yang tau kalau Gorontalo adalah daerah yang pertama kali memproklamasikan kemerdekaan di Tanah Air, begitulah bunyi teks proklamasinya. Berlatarbelakang selembar kain berwarna merah putih bertuliskan ‘Indonesia Berparlemen”, Nani Wartabone selaku ketua “Komite Duabelas” di hadapan massa rakyat Afdeling Gorontalo membacakan teks proklamasi ala rakyat Hulandalo. Pidato singkat, resmi dengan penuh semangat menjelang pukul 10.00 tanggal 23 Januari 1942, lima jam setelah operasi penyergapan dan penangkapan sejumlah pejabat penting pemerintah Hindia Belanda.
Kerjasama yang baik diantara anak-anak bangsa di Gorontalo telah melahirkan peristiwa merah-putih. Penyergapan dan penangkapan W.C. Roemer selaku Komandan Polisi (Veldpolitie), dan E. Couper, Komandan Polisi Kota (Hoofdagent Stadpolitie) dan kontrolir Dancona mengantarkan Lipu Limo Lo Pohalaa (Daerah Gorontalo) lepas dari cengkraman bangsa asing. Setelah membacakan teks proklamsi segera hari itu juga pukul 15.00 “Komite Duabelas” mengadakan rapat untuk membentuk pemerintahan pengambilalihan kekuasaan yang dikenal Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang dikomandani Nani Wartabone, Wakil Komandan, JA.Pendang Kalengkongan, dan Kepala pemeritahan Sipil, RM. Koesno Danupojo, serta A.B. Dauhan sebagai salah satu anggota PPPG.
Nama-nama seperti; M. Soegondo, R.M. Danuwito, dan R.M Koesno Danupojo selaku wakil ketua Komite Duabelas berasal dari Jawa, Pendang Kalengkongan, Komandan Polisi di Afdeeling Gorontalo. J. Poluan, J.J. F. Paat, J.A. Lasut, Th. Tumewu, A. Kondowangko, dan A. Tombeng adalah putra-putra terbaik Minahasa. Sedangkan H.K,P. Saerang, dan A. Manoreh dari Sangihe. Soei Oei Hong, Segaf Alhasni dan Hasan Badjeber, warga keturunan Tionghoa dan Arab. Semuanya anggota dari Parpol berjiwa nasionalis dan tergabung dalam “Komite Duabelas”. Adapun putra daerah Gorontalo yang tergabung dalam komite ini; M.H. Boeluati, A.R. Ointoe, Usman Monoarfa, Usman Hadju, Usman Tumu, dan A.G. Usu, dan ketuanya Nani Wartabone sendiri. Penyerangan dan penyergapan terhadap pejabat Belanda terbilang sukses karena dibantu oleh laskar pemuda “Pasukan Berani Mati” yang anggota-anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda asal Bugis dan warga setempat dibawah koordinasi Wartabone dan Danoepojo.
Yang patut dijadikan teladan dari peristiwa patriotik itu adalah keterlibatan warga yang berasal dari luar etnik Gorontalo. Tokoh sentral, Nani Wartabone benar-benar menunjukkan bahwa ia seorang nasionalis tulen, dan bukan pribumi yang suka berpikir “nasionalisme sempit”. Di samping itu, Wartabone tidak pula melupakan jerih payah anak-anak bangsa yang berasal dari Jawa, Minahasa, Sangihe Warga keturunan Arab, dan Tionghoa.
Kurang lebih 55 tahun setelah Indonesia merdeka, warga Hulandalo baru memiliki Pemprov yang lahir dari rahim provinsi Sulawesi Utara. Sepuluh tahun setelah provinsi Gorontalo terbentuk, seingat penulis baru kali pertama warga dan kedua Pemprov akan berkumpul bersama di Manado guna memperingati hari bersejarah itu.
Hajatan bersejarah ini dilaksanakan ketika hiruk pikuk Pemilukada. Lepas dari hajatan bernuansa politik, namun peringatan ini sangat berguna dalam konteks merekatkan tali persaudaraan antara Sulut dan Gorontalo yang kini terasa semakin “jauh”. Kondisi ini akibat dari pemisahan administrasi pemerintahan dan kultur masyarakat ke dua provinsi yang terus berubah. Gorontalo sibuk membangun kultur “Serambi Madinah” dan memperkuat fasafah hidup Adat Bersendikan Syara dan Syara Bersendikan Kitabullah” di satu pihak, sementara di Sulut mengubah simbol kultural daerah, dari burung manguni ke burung merpati bernuansa agama, sembari memperbanyak simbol keagamaan di ruang publik. Tidakkah anak-anak bangsa ini hanya asyik bermain pada tataran simbolik, dan bukan fokus pada subtansi ajaran ke dua agama samawi tersebut? Jawabnya, dapat dilihat pada praktik “politik uang” dalam Pileg dan Pemilukada pada kedua daerah yang berujung ada praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Yang jelas, hajatan ini akan menyejarah di mata anak cucu kita, sebagaimana kita melihat anak-anak bangsa berjuang pada 23 Januari 1942 di Gorontalo. Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah) meminjam kata bijak Bung Karno. Karenanya, ritual merekatkan tali persaudaraan Gorontalo dan Sulut seharusnya tidak hanya dilakasanakan dalam rangka Pemilukada saja. Sebab sejarah yang kita ciptakan hari ini bisa menjadi alat pemersatu suku-suku bangsa di kawasan ini.
Akhirnya, sejarah pengibaran Sang merah-putih 23 Januari 1942 adalah simbol suatu pemerintahan yang merdeka dan berdaulat, serta pertama di bumi Nusantara. Kesan kuat yang ditinggalkan para pendahulu adalah, semangat kebersamaan, berjiwa nasionalis, dan tahu menghargai jasa para pahlawan. Masalahnya, bisakah kita melanjutkan apa yang telah ditorehkan dengan tinta emas, sang Pahlawan Nasional, Haji Nani Wartabone?. Semoga!

No Response to "Nani Wartabone Merekatkan Persaudaraan"

Posting Komentar