Membaca Fenomena Politik: “Temu Kader” Partai Golkar

Kunjungan Wakil Presiden RI yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar Muhammad Yusuf Kalla (MJK) ke Kota Bitung untuk menghadiri acara puncak peringatan Ke-6 Hari Nusantara, yang kemudian dilanjutkan dengan acara “temu kader” Partai Golkar (PG) di Manado tanggal 13 Desember 2005 yang lalu, --- telah meninggalkan sebuah fakta yang menarik untuk disimak. Dikatakan sebuah fakta menarik karena sebagian masyarakat politik dan pers melihat rangkaian peristiwa temu kader PG yang berlangsung di Aula Pemkot Manado itu adalah sebuah fenomena politik.
Ada beberapa hal yang menarik dari pemberitaan maupun tanggapan masyarakat untuk dicermati berkenaan dengan peristiwa “temu kader” PG di Manado; Pertama, acara temu kader PG yang menggunakan fasilitas negara, kedua, pujian dan sentilan Nomor Pokok Anggota Golkar (NPAG) yang disampaikan MJK kepada Sinyo Harry Sarundayang (SHS) yang notabene sebagai Gubernur Sulut pertama pilihan rakyat yang diusung PDI-P. Ketiga, mempersoalkan posisi duduk antara Ketum PG (MJK), ketua DPD PG Manado (IMBA), Ketua DPD PG Sulut (AJS), dan bahkan posisi duduk Gubernur Sulut (SHS); Keempat, “keakraban” dan “bisik-bisik” antara Wapres (MJK) dan Walikota Manado, Jimmy Rimba Rogi (Imba), yang diasumsikan sebagai pertanda akan mempermulus langkah (Imba)) menjadi Ketua DPD PG Sulut?, dan yang kelima; asumsi adanya sinyal pergantian DPD Sulut atas dasar upaya membesarkan Partai Golkar ke depan (Manado Post, 14-15/12/05).
Dengan demikian, ada tiga hal yang penulis kira pantas dicatat dari hasil pembacaan dan asumsi-asumsi masyarakat seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu; konteks peristiwa, teks, dan aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa temu kader PG di Manado. Lalu, bagaimana kita dapat membaca dan memahami fenomena politik yang kita maksudkan di atas? Untuk itu, mari kita lihat.

Pemahaman Dalam Hermeneutik
Bila kita percaya bahwa perasaan yang diungkapkan dalam berbagai bentuk ekspresi merupakan perwujudan dari pikiran, maka sebenarnya pikiranlah yang harus diteliti. Berkenaan dengan hal itu, ada beberapa pendekatan yang dapat kita gunakan untuk meneliti aspek pikiran. Dalam ilmu antropologi dikenal dengan strukturalismenya Levi-Strauss, dan antropologi simboliknya Mary Douglas. Tetapi, untuk tulisan pendek ini penulis memilih hermeneutic. Sebab, dalam pendekatan ini dapat ditemukan konsep yang disebut Paul Ricoeur apropriasi, yang berarti, lebur dalam perasaan orang lain, atau merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Melalui tulisan ini, penulis bukanlah bermaksud mengajak pembaca menggunakan perasaan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara metodologis. Hanya saja, perlu diketahui bahwa aspek perasaan tidak dapat diremehkan, karena merupakan bahan pokok untuk dapat memahami sesuatu. Sedangkan pemahaman tentang sesuatu mempunyai andil untuk menentukan perilaku dalam menghadapi “sesuatu” itu. Lagi pula, dalam ilmu pengetahuan ada dua sifat ilmu yang mempunyai posisi berbeda yaitu nomotetis dan idiografis. Ilmu pengetahuan yang bersifat nomotetis bekerja dengan dalil-dalil umum, sedangkan idiografis menekankan pada keunikan. Dengan kata lain, ada dua metode dasar dalam ilmu pengetahuan, yaitu Erklaren atau penjelasan dan Verstehen atau pemahaman. Apa yang dimaksud dengan pemahaman? William Dilthey (dalam Rickman, H.P, 1979) mengatakan bahwa pemahaman adalah suatu proses intelektual yang dapat diaktifkan untuk dapat memahami dunia manusia, dan dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis. Oleh karena itu, pemahaman atas fenomena politik temu kader PG di Manado ini akan dijelaskan melalui hermeneutik.

Penggunaan Fasilitas Negara
Suatu hal yang terasa “unik” kalau tidak dapat dikatakan “aneh” di negeri kita pasca tumbangnya Orde Baru, -- di mana seorang Presiden atau Wakil Presiden dapat pula menjadi ketua umum sebuah partai politik. Mengapa hal ini dipersoalkan sebagian masyarakat? Karena, hingga saat ini mereka tetap menganggap bahwa partai politik adalah salah satu institusi modern yang menjadi pendorong utama demokratisasi di negeri ini. Namun kenyataannya, sangat sulit untuk memisahkan jabatan (Presiden dan Wakil Presiden) yang diemban oleh seseorang yang juga adalah ketua-ketua umum partai politik. Artinya, antara jabatan Presiden/Wakil Presiden dan kegiatan-kegiatan partainya tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, masyarakat bertanya; Bagaimana kita mengharapkan partai politik dapat menjadi pendorong utama tumbuhnya demokratisasi jika para pemimpin partai politik sendiri tidak mengindahkan peraturan atau UU No.12 Tahun 2003 yang sudah dibuat? Jika pertanyaan ini ditujukan kepada MJK saat ini, mungkin jawabannya hampir sama dengan jawaban Megawati Soekarno Putri dan Hamzah Haz ketika mereka menjabat Presiden dan Wakil Presiden. Jawaban Hamzah Haz ketika ditanyai mengenai penggunaan fasilitas negara pada masa kampanye: “...,sebenarnya saya dan presiden tidak ingin menggunakan fasilitas negara. Namun, sangat sulit untuk memisahkan jabatan yang diemban dengan masalah-masalah pribadi”. Jawaban Hamzah Haz ini tentunya dapat menggiring perilaku presiden dan wakil presiden mendatang untuk melakukan hal yang sama jika mereka nantinya adalah juga ketua umum partai politik. Bagaimana menjawab persoalan ini? Jawabannya adalah, idealnya – selain, adanya UU yang secara tegas melarang Presiden dan Wakil Presiden RI menjadi ketua umum atau dewan pembina partai politik, dan juga kemauan partai-partai politik secara internal untuk mereformasi dirinya.

Pujian dan Sentilan NPAG
Sebelum melakukan interpretasi terhadap pernyataan MJK,-- sebaiknya kita harus menempatkan dulu posisi MJK sebagai Ketua Umum PG karena kehadirannya dalam temu kader PG itu tidak bisa lepas dari statusnya sebagai Wakil Presiden RI. Sebab, dengan menempatkan MJK sebagai Ketua Umum PG berarti kita telah berupaya menempatkan persoalan pada konteksnya, sehingga akan memudahkan kita dalam menafsirkan ucapan dan perilaku MJK dalam “ritual” yang disebut “temu kader PG” itu.
Sebagai ketua umum dari partai “untuk semua” (catch-all party) yang berorientasi memenangi pemilu, maka sosok Bung Sinyo merupakan aset atau kader potensial bagi PG ke-depan. Apalagi pemilu 2009 adalah rentang waktu yang relatif singkat bagi sebuah partai besar untuk melakukan konsolidasi, rekrutmen dan lain sebagainya. Tafsiran ini muncul karena, selain SHS adalah orang yang lahir dan dibesarkan dalam birokrasi Ord Baru hingga Era Reformasi, dan juga sebagai tokoh pilihan rakyat daerah Sulawesi Utara dalam Pilkada 2004.
Ucapan MJK; “Saya tahu persis NPAG saya dan Bung Sinyo masih NPAG lama”, sepintas lalu pernyataan MJK tersebut memang begitu menggoda, ...dan selanjutnya terserah anda? Dikatakan begitu menggoda karena begitu selesai MJK mengucapkan pernyataan tersebut langsung mendapat aplaus panjang peserta temu kader, dan disambut senyuman AJ Sondakh yang makin melebar dan spontan pula bertepuk tangan.
Melihat fenomena di atas, SHS sebetulnya yang menjadi bintang selain Imba. SHS semakin menjadi bintang setelah mendapat pujian dari MJK yang berbunyi: ”..Pak Sarundayang mampu mendamaikan dua daerah yang tengah dilanda konflik waktu itu. Makanya jangan segan-segan mendukung beliau..”. Pernyataan MJK yang terakhir ini bisa menimbulkan multi tafsir, akan tetapi dalam konteks ini dua tafsir yang sangat logis; pertama, jika MJK dalam kapasitasnya sebagai ketua umum PG, maka tafsirnya adalah para kader PG jangan segan-segan menerima dan mendukung beliau jika SHS ingin mengaktifkan kembali NPAG-nya. Tafsiran kedua, jika MJK dalam kapasitasnya sebagain Wakil Presiden, maka makna ucapan tersebut menginstruksikan para kader PG yang duduk di DPRD Sulut tidak segan-segan mendukung kebijakan-kebijakan SHS. Akan tetapi, melihat konteksnya, tentunya yang lebih pas adalah tafsiran pertama.

Persoalan Posisi Duduk
Persoalan posisi duduk MJK persis di samping ketua DPD PG Manado, Imba, dan bukan Ketua DPD PG Sulut AJS serta bukan pula Gubernur Sulut SHS adalah suatu hal yang sah-sah saja dan wajar-wajar saja. Bagaimana argumentasinya? Pertama, bukankah yang mempunyai hajat di tempat itu adalah Imba? Kedua, bukankah Imba adalah satu-satunya kader PG yang berhasil menjadi Walikota Manado karena dipilih langsung oleh rakyat?, sedangkan ketua-ketua DPD PG lainnya yang sekarang menjabat Bupati bukan pilihan langsung dari rakyat (misalnya; Vreke Runtu, Marlina Moha Siahaan, dan Elly Lasut)? Di sini baru terasa pas jika ada kader PG yang mengatakan bahwa acara temu kader itu adalah syukuran. Lalu mengapa bukan ketua DPD PG Sulut (AJS) sebagai pemimpin tertinggi PG di Sulut? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka tafsiran pertama dan kedua di atas sangat relevan menjadi jawabannya. Kemudian, jika kita beradai-andai bahwa posisi Ketua DPRD Sulut saat ini di jabat oleh AJS maka secara otomatis posisi duduk Syahrial Damopolii ditempati AJS (persis disamping kanan MJK). Dengan demikian, di sini tampak letak kelemahan kebiasaan kita atau “kultur kekuasaan” kita, yang selama ini kekuasaan dianggap adalah segala-galanya, sehingga kultur ini terbawa-bawa masuk dalam acara seremonial semacam itu. Jika tidak memegang suatu jabatan lagi di pemerintahan (eksekutif dan legislatif), maka secara sadar atau tidak, kita mengedepankan atau mengutamakan orang yang sedang memangku jabatan. Di samping itu, perasaan AJS sebagai kader PG yang kalah dalam pertarungan Pilgub 2004 lalu turut pula berperan dalam berperilaku, apalagi berhadapan dengan atasan organisasi yang juga Wakil Presiden.
Kemudian, mengapa bukan pula SHS, sebagai Gubernur Sulut saat ini yang duduk di samping MJK? Interpretasinya adalah, justru di sinilah sebetulnya letak keadaban SHS. Bung Sinyo tahu persis bahwa hajat ini adalah milik Partai Golkar, khususnya Imba. SHS berusaha menempatkan kehadiran MJK di sini dalam kapasitas ketua umum PG. Jadi, personal-personal yang harus duduk berdekatan dengan MJK seharusnya kader-kader Golkar juga. Dengan demikian, dalam konteks ini kita bisa menafsirkan bahwa Bung Sinyo memang sedang tidak berupaya memasukkan dirinya dalam kategori personal PG. Integritas Bung Sinyo memang diuji dalam acara temu kader PG yang lalu. Dalam konteks ini juga, SHS sadar betul bahwa kendaraan yang mengusung dia adalah PDI-P, yang sudah barang-tentu mendapat restu dari Ketum PDI-P, Megawati Soekarno Putri.

“Keakraban dan Bisik-bisik”
Bagaimana menafsirkan perilaku MJK dan Imba tampak begitu akrab yang diselingi dengan saling bisik-bisik di jajaran kursi terdepan? Mengapa keakraban ini justru tidak terjadi antara MJK dan AJS? Untuk menjawab pertanyaan ini maka fakta tentang yang punya hajat di ruang Serba Guna Pemkot Manado adalah Imba, dan fakta tentang Imba adalah satu-satunya kader PG yang berhasil mengalahkan Wempi Frederik dalam Pilwako Manado melalui pemilihan langsung oleh rakyat juga merupakan jawaban yang sangat relevan atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Selain, selaku Ketum PG, dan juga MJK yang dikenal sebagai pengusaha dan politisi ulung tentu pula sudah berhitung jika “rayuannya” tidak berhasil menggoyahkan pendirian Bung Sinyo untuk mengaktifkan kembali NPAG-nya, maka perilaku MJK terhadap Imba itu, bisa juga ditafsirkan sebagai salah satu alternatif dalam pandangan MJK untuk menggantikan posisi AJS dalam rangka memenangi pemilu 2009 nanti. Berkaitan dengan tafsiran ini, maka konteks pernyataan Imba beberapa waktu lalu yang berbunyi,”Putra Mahkota Hanya Dikenal di Jepang”, sangat berdasar dan relevan.
Dengan demikian, sinyal pergantian DPD PG Sulut yang disuarakan oleh sebagian kader PG di Sulawesi Utara yang terkesan masih malu-malu itu, sebenarnya sedang dipikirkan oleh Sang Ketum PG. Tafsiran ini, didukung oleh fakta berupa situasi politik internal PG di Sulut, -- di mana sebagian kadernya menginginkan adanya Musdalub dengan alasan “membesarkan partai”, dan juga adanya fakta yaitu gagalnnya AJS mengantarkan dirinya untuk terpilih kembali menjadi Gubernur Sulut periode 2005-2010, di satu sisi, sementara pada saat yang sama pula AJS tengah diperhadapkan dengan sidang-sidang di Pengadilan Negeri Manado sebagai saksi dalam kasus MBH-gate yang masih belum tuntas hingga saat ini, pada sisi yang lain. Wallahu a’lam bisawab.

Artikel ini pernah diterbitkan secara berseri Manado Post, 22,23,28,29 Desember 2005

No Response to "Membaca Fenomena Politik: “Temu Kader” Partai Golkar"

Posting Komentar