Kepala Daerah dan Warga Keturunan Tionghoa

oleh: Mahyudin Damis

Runtuhnya pemerintahan sentralistik Orde Baru Tahun 1999 telah diikuti dengan terbongkarnya simpul-simpul represi yang mengekang kehidupan masyarakat Indonesia. Euforia publik pun muncul dalam berbagai bentuk ekspresi, hingga ke tingkat yang lebih ekstrim. Gejala disintegrasi bangsa segera menghantui dan fenomena kekerasan bernuansa SARA, serta disintegrasi sosial semakin nyata dari waktu ke waktu.
Pemerintahan di era Reformasi menyadari bahwa krisis tersebut harus menyertakan seluruh komponen bangsa. Pemberdayaan daerah adalah salah satu solusinya maka dikeluarkanlah UU tentang pemerintahan daerah yang kini menjadi UU.No.32.Thn.2004. UU ini pada hakekatnya hendak melakukan perbaikan penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi keanekaragaman budaya daerah. Atas dasar UU ini maka lahirlah pemekaran wilayah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Sulawesi Utara pun tak luput dari penerapan UU ini. Kenyataannya, Provinsi Sulut telah melahirkan Provinsi Gorontalo dan beberapa daerah kabupaten/kota. Sejumlah daerah kabupaten/kota yang baru di Sulut pun dipimpin warga keturunan Cina. Fenomena ini telah melahirkan ketidak puasan pada sebagian pribumi. Kota Manado sebagai ibukota provinsi seharusnya tidak dipimpin oleh mereka. Cukup Kota Bitung, Kabupaten Sitaro (Siau, Tagulandang dan Biaro) dan Minahasa Tenggara (Mitra) saja. Seorang dari kelompok ini mengutarakannya dengan sedikit emosi kepada saya; Hey tamang... hele Manado ley dorang so mo pegang, so cukup jo di Sitaro, Bitung deng Mitra. Ini so mo bahaya for torang samua. Dorang so kuasai tu ekonomi, kong-- tu politik deng pemerintahan ley dorang mo kuasai..? So butul tu pak Harto dulu, dorang so cukup jo di bidang ekonomi. (Hai teman...Manado pun akan berada dalam genggaman mereka, cukup saja di Sitaro, Bitung dan Mitra. Ini akan berbahaya bagi kita semua. Mereka sudah menguasai bidang perekonomian, lalu di bidang politik dan pemerintahan juga akan mereka kuasai? Sudah betul pak Harto dulu mereka cukup diberi ruang dalam bidang ekonomi).
Sepintas, pernyataan tersebut adalah representasi dan bentuk ekspresi sebagian warga yang tidak puas melihat fenomena ini. Saya kira hal ini tidak bisa kita biarkan meluas karena bertentangan dengan UU dasar yang telah kita sepakati bersama. Hakekat UU. No.32 Thn 2004 juga menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan. Inilah salah satu maksud dan tujuan dari tulisan ini. Satu pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan, yaitu: Mengapa warga keturunan Cina tampak begitu ”mudah” menduduki jabatan kepala daerah dan wakil rakyat di Sulut? Menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat beberapa hal:
Pertama, budaya masyarakat Sulut sejak pra hingga pasca kemerdekaan sangat terbuka dengan masyarakat luar, baik pada pendatang antar provinsi maupun warga keturunan Cina dan Arab. Fakta menunjukkan perkawinan campur antar suku bangsa dan warga keturunan pun terjadi hingga hari ini. Atas dasar perkawinan campur itu pun meluas ke relasi-relasi perdagangan, pembelian tanah, rumah, toko dan perkebunan. Perkawinan-perkawinan campur terlaksana relatif mudah karena tidak lepas dari sikap-sikap yang ditunjukkan oleh orang Bolaang Mongondow (BO), orang Hulandalo (Hu), orang Sangir dan Talaud (Sa) dan orang Minahasa (Mi) yang ramah tamah, murah senyum, dan mudah bergaul terhadap siapa saja (sehingga berakronim Bohusami).
Kedua, sikap terbukanya warga pribumi Sulut, orang Minahasa dan Sangir maka orang Cina dengan senang hati menggunakan marga Kansil, Sondakh, Supit, Tjanggulung, Walandha, Bastian dsb. Hal ini harus dilihat sebagai adanya semangat asimilasi, atau semangat berintegrasi sosial yang kuat yang ingin mereka tunjukkan. Ingat, mantan Wakil Gubernur Sulut periode (1995-2000) Hi. Hassan Abbas Nusi adalah orang Gorontalo keturunan Cina, kerabat terdekat memanggilnya dengan sapaan Pak Acan.
Ketiga. Perubahan politik nasional juga telah turut memberi andil terjadinya perubahan sosial dan budaya masyarakat Sulut. Presiden RI yang ke 4, KH. Abdurrahman Wahid sangat getol membela kaum minoritas, terutama warga keturunan Tionghoa. Gus Dur sangat berani membongkar simpul-simpul represif sehingga atraksi kesenian Barongsai bisa dipergelarkan kembali di tanah air.
Keempat, banyaknya orang Cina yang memiliki uang dan harta kekayaan, plus SDM yang menunjang, kemudian berbarengan dengan sistem pemilihan umum secara langsung baik eksekutif maupun legislatif, yang membutuhkan cost politics dan money politics maka dengan sendirinya mereka begitu ”mudah” menduduki jabatan-jabatan strategis.
Akhirnya, semangat persatuan dan kesatuan yang telah ditunjukkan warga keturunan Tionghoa ini diwujudkan secara nyata dalam menyejahterakan masyarakat secara cepat dan tepat, terutama di daerah-daerah kabupaten/kota yang mereka pimpin hingga hari ini. Warga pribumi yang tidak puas, cepat atau lambat akan memahaminya. Dengan sendirinya daerah ini akan bebas dari kecemburuan sosial atau bebas dari konflik horinsontal. Slogan Torang Samua Basudara pun nyata. Semoga....!!!


Artikel dipublikasikan di Tajuk Tamu Tribun Manado (Jumat,12/02/2010)

No Response to "Kepala Daerah dan Warga Keturunan Tionghoa"

Posting Komentar