Konsumsi Kebudayaan dan Pemilu

Akhir-akhir ini perilaku partai politik dan umumnya calon anggota legislatif, kepala daerah, dan bahkan presiden menunjukkan bahwa “mengkonsumsi kebudayaan” telah menjadi suatu kegiatan yang wajib dilakukan untuk memenangkan pertarungan dalam pemilu. Dengan demikian, mereka terkesan bergaya hidup boros di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang belum juga kuat.

Fenomena yang terjadi pada partai politik dan politisi tersebut sering disebut meminjam istilah Mike Featherstone (2003), “budaya konsumen”. Istilah ini didefinisikannya sebagai hubungan penggunaan benda-benda dan cara-cara melukiskan sesuatu guna membedakan orang atau kelompok lainnya. Praktik dan sikap yang menggambarkan gaya hidup masuk akal dalam konteks tertentu. Gaya hidup ditentukan oleh cara seseorang memilih dan menggunakan “benda” atau proses konsumsi (Tomlinson, 1990).

Dengan kata lain, konsumsi merupakan suatu proses penting untuk dikaji karena ia merupakan bentuk dalam siklus dimana barang-barang melekat pada acuan personal yang dapat dimiliki oleh setiap orang dan dapat diidentifikasikan dengan setiap orang, dan yang dapat menjadi ciri-ciri kepribadian, tanda identitas, dan menandakan hubungan antarpribadi dan kewajiban-kewajiban yang khusus (Gell dalam Abdullah, 1998).

Gaya hidup para politisi saat ini tidak lepas dari temuan J.J Honigmann dalam buku pelajaran antropologinya, The World of Man (1959), yang membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan” atau tiga wujud kebudayaan, yaitu (1). Ideas, (2). Activities, (3). Artifacts.

Untuk menerapkan teori wujud kebudayaan dalam kajian ini harus dibalik dari urut 3 ke 1, karena menyesuaikan kondisi pemilu di Indonesia dimana “gizi” atau barang telah menjadi prioritas utama rakyat ketimbang visi dan misi para politisi. Karenanya, wujud kebudayaan ketiga yang harus dijelaskan lebih dahulu daripada yang pertama. Faktanya, partai politik, kandidat, dan bahkan pemilik suara (rakyat) mengutamakan ketersediaan baliho, dan perangkat sosialisasi lainya, sembako serta uang (artifacts).

Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas, atau kelakuan berpola dalam masyarakat adalah wujud kedua (activities). Konkretnya, pengurus partai, calon dan tim sukses tampak begitu pintar dan jeli “mengambil hati” rakyat, pers, tokoh masyarakat, elit partai, ormas, penguasa, LSM, akademisi, lembaga pencitraan dan survei, dan bahkan pihak penyelenggara pemilu sekalipun.

Broker politik pun tak ketinggalan intens berkomunikasi dengan elit partai atau tim pemenangan dan sang calon guna mendapatkan sejumlah uang dan barang kemudian didistribusikan ke masyarakat. Pola interaksi yang cukup dan terkesan baik antara si calon dan unsur-unsur masyarakat tadi sangat berandil dalam pemenangan pemilu.

Ketiga, wujud kebudayaan Kompleks nilai-nilai, norma-norma dan hukum yang ada pada wujud pertama (ideas), yang seharusnya berfungsi mengendalikan tata kelakuan manusia telah melemah. Unsur-unsur yang tertinggal dalam wujud pertama dan banyak dipakai politisi adalah kompleks ide-ide dan gagasan (ideas).

Hal ini tak kalah penting mereka gunakan dalam pemilu. Ide-ide atau gagasan cerdas dari elit partai atau kandidat dirangkum dalam bentuk visi dan misi, kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga terpublikasikan di berbagai media. Pencitraan yang dilakukan secara profesional bisa membuat masyarakat terpikat dan melihatnya yang paling well to do. Tipe menjual ide-ide sosial semacam ini menjadi wajib digunakan para politisi sebagai penanda agar mudah dikenal kemudian dipilih publik.

Harga atribut kampanye dalam jumlah besar, kemudian melunasi jasa konsultan politik serta lembaga pencitraan/survey, tentu tidak sedikit dana yang harus dikeluarkan para politisi atau parpol. Para kandidat yang mampu melakukan ini biasanya hanyalah para incumbent dan politisi pengusaha. Mereka dapat menggunakan kewenangan dan berbagai fasilitas, kemudian tersedianya dana yang banyak bagi politisi pengusaha. Kesemuanya ini merupakan bukti bahwa konsumsi kebudayaan material telah menjadi fokus utama dalam kehidupan sosial saat ini (Chaney, 2003).



Money Politics Berkelanjutan
Sejak Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi, kita sepertinya masih terus diperhadapkan dengan praktik “money politics”. Tadinya banyak kalangan berharap bahwa dibawah pemerintahan reformasi fase sejarah “money politics” yang panjang segera berakhir. Kenyatataannya justru menyeruak seiring dengan sistem keterbukaan yang sedang dibangun.

Yang harus diwaspadai adalah adanya pemikiran para politisi bahwa permainan “money politics” sudah termasuk kebudayaan yang harus dipakai, dipraktikan untuk memenangkan pemilu. Mengapa? Karena mereka bisa saja berpandangan bahwa “money politics” telah diterima masyarakat Indonesia pada umumnya. Populasi kelas menengah bawah jumlahnya jauh lebih besar ketimbang jumlah kelas menengah atas. Kelas yang terakhir pun tak seluruhnya menolak praktik “money politics”. Artinya, besarnya jumlah rakyat Indonesia yang sudah “permisif” terhadap fenomena “haram” ini dianggapnya sebagai “pendukung kebudayaan”.

Fenomena ini sangat berbahaya jika dibiarkan berkepanjangannya ketimpangan antara kemajuan dalam bidang politik yang telah dicapai dan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Sebab, sikap permisif sebagian masyarakat Indonesia terhadap praktik money-politics bisa meluas hingga mentradisi. George Simmel (1997) berkesimpulan bahwa mengkonsumsi kebudayaan telah membentuk konstruksi masyarakat, dan menimbulkan budaya baru dalam masyarakat. Dengan kata lain, terjadi pergeseran dari masyarakat konsumen (consumer society) menjadi budaya konsumen (consumer culture).

Kasus plagiat di berbagai perguruan tinggi yang pelakunya para gurubesar mungkin pula ada kaitannya dengan budaya konsumen masyarakat Indonesia yang telah terkonstruksikan. Jika profesor sebagai penjaga moral dapat melakukan tindakan itu, bagaimana dengan para dosen berpangkat lebih rendah, kemudian bagaimana pula dengan para politisi, pejabat atau pengusaha yang hendak meraih kekuasaan berdasarkan mandat rakyat yang gemar bermain money-politics ? Jika kekuasaan politik jatuh ke tangan-tangan yang tidak memiliki “sense of crisis”, tidak jujur, dan bermentalitas menerabas atau suka cepat kaya, mustahil rasanya mereka dapat mengatur kehidupan warga negara, khususnya menyangkut konflik karena berbeda pendapat, pertikaian dan tawuran sehingga tatanan kehidupan yang damai, harmoni, dan sejahtera dapat dicapai.

* Dosen Antropologi Fisip Unsrat Manado
artikel ini dimuat di http://manado.antaranews.com Rabu, 05 Mei 2010

No Response to "Konsumsi Kebudayaan dan Pemilu"

Posting Komentar