Tinjauan Kritis Terhadap Falsafah “ABS dan SBK’ di Gorontalo

Oleh: Mayudin Damis


Pendahuluan
Keputusan Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven memasukkan daerah Gorontalo ke dalam salah satu wilayah dari 19 wilayah hukum adat di Indonesia adalah suatu keputusan yang bukannya tidak berdasar. Tentunya keputusan ini didasarkan atas penelitian beliau yang mendalam ketika “melihat atau membaca” fenomena sosial dan budaya orang Gorontalo pada akhir abad 19 atau awal abad ke 20 itu. Dengan dimasukkannya wilayah Gorontalo ke dalam kategori daerah yang mempunyai aturan, norma, nilai dan sistem hukum sendiri untuk mengatur warganya, berarti orang Gorontalo sebenarnya telah dinilai oleh orang asing sebagai suatu komunitas yang memiliki peradaban. Betapa tingginya nilai dari labelisasi Prof. van Vollenhoven tersebut jika adat-istiadat dilihat sebagai suatu pencerminan atau penjelmaan dari kepribadian suatu suku-bangsa (etnis).
Kategorisasi van Vollenhoven tersebut di atas, kini telah menjadi semacam prestise, dan sekaligus sebagai identitas masyarakat Gorontalo. Hal ini tentunya merupakan suatu penghargaan yang tak ternilai dan patut kiranya dilestarikan oleh orang Gorontalo sendiri selaku pendukung kebudayaan tersebut. Mengapa? Karena tidak sedikit suku-suku bangsa lainnya, yang juga menginginkan daerahnya masuk dalam salah satu wilayah hukum adat di Indonesia, namun hal itu tidaklah mereka peroleh. Keinginan setiap daerah untuk dimasukkan ke dalam salah satu wilayah hukum adat di Indonesia, tentu sangat beralasan karena perbedaan adat-istiadat dari masing-masing daerah merupakan ciri terpenting yang dapat memberikan suatu identitas kepada suku-bangsa yang bersangkutan.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka perasaan identitas etnik dewasa ini memang terasa semakin penting. Perbedaan-perbedaan kultur pada setiap suku-bangsa di dunia saat ini memang tampak semakin ditonjolkan, padahal tahun-tahun sebelumnya (1950-an & 1960-an) ilmuan sosial umumnya beranggapan bahwa kesukubangsaan dan perasaan identitas etnik merupakan gejala tradisional, sehingga dengan demikian hanya menyangkut negara-negara berkembang saja.
Prof. Koentjaraningrat (1993), menyebutkan bahwa pada dekade 1950-an hingga 1960-an, para ahli ekonomi mempunyai anggapan bahwa sifat pragmatis dari kemajuan ekonomi akan mengakhiri masa yang mementingkan ideologi dan identitas etnik. Demikian pula halnya dengan pandangan dari para ahli ilmu politik, di mana mereka beranggapan bahwa dengan tercapainya kematangan politik dan demokrasi, masalah kesukubangsaan dalam negara-negara multietnik akan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, baik pandangan dari para ahli ilmu ekonomi maupun politik seperti yang telah disebutkan di atas, -- sangat bertentangan dengan fakta meningkatnya konflik antarsukubangsa yang terjadi sejak tahun 1970-an hingga saat ini. Dengan adanya fakta ironik bahwa berbagai pertentangan itu, tidak hanya terjadi pada negara-negara berkembang atau dalam negara yang dilanda krisis ekonomi, melainkan juga sama kuatnya menerobos ke negara-negara di dunia yang ekonominya sudah maju dan negara yang demokrasinya matang.
Perang etnik di Yugoslavia dan gerakan-gerakan perpecahan etnik sebagai contoh telah mengurangi kekuatan adikuasa Soviet yang dimulai ketika negara-negara itu mengalami krisis ekonomi yang parah. Tuntutan-tuntutan dari orang Irlandia, Skotlandia dan Wels untuk memperoleh otonomi yang lebih besar dari Inggris, tuntutan orang Breton serta Korsika dari Perancis, tuntutan orang Kanada keturunan Perancis di Quebeq dari Kanada, atau pun konflik yang tak putus-putusnya antara orang Vlam dan Vallon di Belgia serta perjuangan kemerdekaan orang Basque dari Spanyol, tidaklah hanya didorong oleh ketidakpuasan ekonomi (lihat Esman, 1977). Di Indonesia dapat pula kita temui adanya fakta-fakta berupa tuntutan orang Aceh, orang Papua, orang Riau serta orang Talaud yang ingin memisahkan diri dari republik ini. Di negeri ini dapat pula kita temui tuntutan etnik tertentu kepada etnik lainnya untuk memisahkan diri dari provinsi induknya. Hal ini ditandai dengan munculnya provinsi-provinsi baru, seperti Provinsi Banten, Maluku Utara, Bangka Belitung, dan Gorontalo.
Berangkat dari fenomena kesukubangsaan yang berkaitan dengan tuntutan akan sebuah otonomi yang lebih luas, maka bagaimana dengan konteks daerah Gorontalo? Apakah ada hubungan korelasi antara identitas etnik Ke-Gorontalo-an dan terbentuknya Provinsi Gorontalo? Apakah dengan merasa “dinomor (kelas) duakan” di tengah-tengah hidup ber-Bohusami maka identitas ke-Gorontalo-an justru menjadi terhambat untuk dikenal oleh Pemerintah Pusat? Lalu, adakah faktor karena kurang dekatnya hubungan Pusat dan Daerah maka daerah Gorontalo kurang mendapat kesempatan secara proforsional untuk mengakses, baik di bidang politik maupun sosial ekonomi yang disebabkan karena dominannya etnik Minahasa di Sulawesi Utara? Untuk itu mari kita lihat.
Gorontalo yang tadinya sebagai sebuah daerah tingkat II di Sulawesi Utara, kini secara resmi menjadi provinsi tersendiri pada tanggal 5 Desember 2000, memisahkan diri dari provinsi induknya (Kompas, 5/12/2000). Keputusan ini dicapai setelah melalui perjuangan kolektif orang Gorontalo dalam suatu rangkaian peristiwa yang panjang, dan jauh sebelum gerakan pemisahan diri di daerah-daerah lain terjadi. Perubahan struktur kekuasaan di Indonesia sejak keruntuhan posisi Orde Baru telah menjadi kondisi yang kondusif bagi munculnya gerakan pemisahan diri tersebut.
Proses pemisahan diri itu diawali dengan dialog terbuka “Menuju Provinsi Gorontalo” yang digelar HMI Cabang Gorontalo bersama para pejuang provinsi di kota Gorontalo pada tanggal 1 Desember 19993. Dialog yang dilaksanakan oleh HMI ini menghadirkan pembicara dari tokoh-tokoh kalangan kampus STIKIP Gorontalo, Tokoh Pemuda, dan Pemerintah Daerah, serta dihadiri oleh 273 perwakilan kelompok sosial masyarakat yang terdiri dari; mahasiswa, DPRD Kota dan Kabupaten, tokoh masyarakat, tokoh adat, LSM. Dari dialog terbuka itu tercetus dengan resmi, aspirasi pembentukan provinsi Gorontalo yang kemudian berhasil membentuk Formatur Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Gorontalo/Tomini Raya (FP3GTR) yang anggotanya adalah para panelis dialog terbuka tersebut bersama HMI Cabang Gorontalo4.
Dialog terbuka ini kemudian melahirkan serangkaian pertemuan yang melibatkan berbagai unsur dan juga mendorong terbentuknya organisasi-organisasi yang mendukung dan membangkitkan kesadaran publik tentang perlunya otonomi bagi etnik Gorontalo. Gerakan semacam ini sesungguhnya telah muncul jauh sebelumnya yang secara konsisten memperlihatkan dorongan yang besar untuk melepaskan diri dari dominasi kelompok luar. Perjalanan sejarah perjuangan mereka menunjukkan begitu besar kesadarannya akan otonomi yang merupakan dambaan penduduk dan telah diupayakan untuk meraihnya sejak beberapa abad yang lalu. Hal ini tampak pada upaya kerajaan Gorontalo dan Limboto untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Ternate (1565-1677); perlawanan raja-raja di Gorontalo terhadap kompeni Belanda yang berlangsung 1681-1855 (lihat Haga, 1931); kemudian rakyat Gorontalo memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajah kolonial Belanda yang dikenal dengan Peristiwa 23 Januari 19425.
Berdasarkan pada gambaran tentang resistensi etnik Gorontalo yang bersifat historis terhadap dominasi struktur sosial dan politik lokal yang begitu keras dan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat yang berkelanjutan, maka dapat diasumsikan bahwa sejumlah faktor telah menjadi penggerak dalam munculnya kesadaran tersebut. Salah satu fakta penting yang harus dikaji adalah keyakinan pada aqidah Islam dan pelaksanaan adat yang kental di kalangan masyarakat Gorontalo yang kemungkinan memiliki peranan penting.6 Pada spanduk-spanduk terpampang tulisan yang diambil dari Al-Qur’an, surat Arra’du ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib suatu kaum hingga kaum itu merubah nasibnya sendiri”. Ayat ini dianggap telah memberikan motivasi pada orang Gorontalo untuk secara teguh memperjuangkan otonomi, dan bahkan dengan motto yang cukup jelas, yaitu DRASTIS (Damai, Rasional, Sejuk dan Etis) (Harian Gorontalo, 6/7/2000). Pentingnya Islam dapat pula dilihat dalam penggunaan falsafah yang sangat populer, “Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah” (ABSSBK), dalam kehidupan masyarakat Gorontalo, falsafah ini konon kabarnya telah terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu, atau konon 150 tahun lebih awal dari masyarakat Minangkabau.
Pokok persoalan dari tulisan ini sebetulnya berangkat dari masalah penggunaan falsafah yang sangat populer tersebut. Mengapa ? Karena secara historis, para ilmuan sosial tahu bahwa masuknya Islam di Gorontalo sangat dipengaruhi oleh dua kerajaan di Kawasan Timur Nusantara, yaitu; kerajaan Ternate dan kerajaan Goa, Sulawesi Selatan. Pertanyaannya adalah mengapa kedua kerajaan tersebut hingga kini tidak pernah menggunakan atau mengeksplisitkan falsafah hidup tersebut dalam hidup ber-Islam sehari-hari, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Image tentang ketaatan orang Ternate dan orang Sulawesi Selatan terhadap ajaran agama Islam begitu kuat. Hal ini kurang lebih sama kuatnya dengan citra orang Gorontalo dalam menganut agama Islam. Lalu, mengapa justru tiba-tiba muncul ungkapan tersebut di Gorontalo? Sedangkan ungkapan tersebut sangat populer dalam kalangan orang Melayu, khususnya etnik Minagkabau, Sumatera Barat?

Menyeruaknya Ungkapan “ABS’ dan S’BK”
Sejak Samin Radjik Nur, SH memperoleh gelar doktor dalam bidang Ilmu Hukum di Universitas Hasanuddin Makassar tahun pada 1979, masyarakat Gorontalo seolah-olah telah mendapatkan sesuatu yang tak ternilai harganya karena beliau berhasil mempertahankan, dan meloloskan ungkapan atau falsafah hidup masyarakat adat Gorontalo, yaitu “Adat Bersendikan Syara’ dan Syara’ Bersendikan Kitabullah”, melalui disertasinya yang berjudul “Beberapa Aspek Hukum Adat Tatanegara Kerajaan Gorontalo Pada Masa Pemerintahan Eato (1673-1679)”. Dalam disertasinya itu, Samin Nur menyebutkan bahwa falsafah hidup tersebut telah ada sejak jaman Kerajaan Gorontalo di bawah pemerintahan Eato pada abad ke-17. Bahkan falsafah hidup tersebut mulai diberlakukan ketika Eato mengumumkannya di hadapan rakyatnya.
Hasil penelitian untuk disertasi Samin Nur, tampaknya telah terlanjur mendapat respon positif, dan akhir-akhir ini seolah-olah telah tertambat dalam hati dan pikiran kalangan “elit” di Provinsi Gorontalo. Mereka begitu akrab dengan ungkapan tersebut, baik ketika mereka menulis tentang daerah Gorontalo, memperbincangkan tentang adat Gorontalo dalam berbagai seminar, dialog interaktif di berbagai radio, maupun dalam rubrik opini di berbagai majalah, dan surat kabar. Namun demikian, eksistensi atas falsafah tersebut secara metodologis masih menyimpan beberapa pertanyaan serius yang harus dijawab secara ilmiah pula, misalnya; benarkah falsafah hidup ABSSBK telah ada sejak Eato memerintah pada tahun 1673-1679?, jika memang ada lalu apa bukti otentiknya? Benarkah Eato memang pernah mengumumkan falsafah tersebut di hadapan rakyatnya?; jika memang pernah terjadi, adakah bukti-bukti otentik yang tertulis tentang eksistensi atas falsafah tersebut? Beberapa pertanyaan di atas harus mendapatkan jawaban atau penjelasan yang masuk akal (logis), serta dapat dipertanggungjawabkan jika falsafah tersebut memang diakui sebagai milik asli orang Gorontalo.
Tujuan dari tulisan ini adalah, selain menempatkan suatu fakta pada tempatnya yang didasarkan atas kaidah-kaidah ilmiah, karena dengan menempatkan fakta-fakta sejarah secara benar berarti kita telah berupaya memberikan informasi kepada masyarakat secara proforsional di satu sisi, sementara di sisi lain, membiasakan para intelektual dalam bekerja untuk selalu berlaku jujur dan bijaksana. Bukankah, tujuan sejarah yang paling utama adalah untuk memelihara fakta-fakta silam agar tak terlupakan (Halphen, 1925). Namun, janganlah pula ilmu sejarah kemudian hanya akan menunjukkan tugasnya sebagai pelayan politik, ketika ia memperhitungkan tuntutan-tuntutan di mana politik membuatnya (Otto, 1943).
Tujuan lain dari tulisan ini tentu tidak mempersoalkan jika ada kontribusi yang telah diberikan oleh falsafah hidup tersebut dalam proses pembentukan Provinsi Gorontalo. Sebab sejarah telah mencatat bahwa fakta kehidupan orang Gorontalo yang memang kental dengan adat-istiadatnya yang bernafaskan Islam, sedikit atau banyak telah memberikan kontribusi dalam proses terbentuknya Provinsi Gorontalo.

Kelemahan-Kelemahan Metodologis Disertasi Samin Radjik Nur
Ada beberapa hal yang membuat saya skeptis atas falsafah ABSSBK yang dimuat dalam disertasi Samin Radjik Nur, SH bila dilihat dari segi metodogis. Pertama, melihat sumber-sumber data yang digunakan DR. Samin Nur dalam disertasinya itu -- sebenarnya sangat kuat, karena selain dapat mengakses dan merujuk pada buku-buku tua, kronik-kronik, naskah-naskah tua yang tersimpan pada keluarga-keluarga tertentu di Gorontalo, dan juga menggunakan literatur yang membahas tentang Gorontalo, baik yang ada di perpustakaan Meseum Jakarta, maupun di Koninklijk Instituut voor Teal-, Land en Volkenkunde Leiden Nederland.
Kedua, Kekuatan literatur pendukung disertasi DR. Samin Nur terlihat pula ketika dia menggunakan buku-buku, dan laporan perjalanan yang ditulis oleh sarjana-sarjana Barat, seperti; Valentijn, Padtburgg, Rosenberg, Reinwardt, Haga, Riedel, Bastians, dan lain sebagainya, di samping buku-buku yang ditulis oleh pengarang-pengarang lokal (Gorontalo) yang antara lain; M. Lipoeto, Kuno Kaluku, D. Kaloekoe, S. Berahim, dan Richart Tacco. Namun, sangat disayangkan bahwa literatur yang bagus-bagus itu tidak satu pun yang menginformasikan tentang adanya falsafah ABSSBK tersebut. Yang ada hanyalah bersumber dari beberapa informan seperti; J. Jasin, bekas Jogugu, Hakim pada Pengadilan Tinggi Manado; B.T. Potale, bekas Jogugu, Ta Tilomombalito, dan H.U. Katili, pesiunan Kepala Daerah. Jika memang ada di antara berbagai sumber tertulis yang telah disebutkan tadi, maka sudah barang tentu pula DR. Samin Nur telah memanfaatkannya dengan baik.
Ketiga, informasi tentang terbentuknya Pohalaa Limboto-Gorontalo, atau Gorontalo-Limboto sangat jelas dikutip oleh DR. Samin Nur, dari Bastiaans, (1938:219). Padahal peristiwa tersebut terjadi pada hari Sabtu tanggal 12 Sya’ban 1084 Hijriah, atau akhir November 1673, yaitu waktu yang hampir bersamaan dengan saat Eato berkuasa. Pertanyaannya adalah mengapa peristiwa serikat kerajaan Limbotto-Gorontalo, atau Gorontalo-Limbotto terbentuk dapat terdeteksi melalui tulisan-tulisan resmi semacam itu, sementara peristiwa yang tergolong amat sangat penting, yaitu diumumkannya falsafah ABSSBK oleh Eato kepada rakyatnya, tidak satupun tulisan resmi yang dapat diperoleh? Bukankah cerita atau sejarah yang diperlukan oleh masyarakat haruslah seakurat mungkin? Apalagi, kini di Provinsi Gorontalo telah bermunculan berbagai perguruan tinggi?
Keempat, dalam makalah/prasaran Samin Nur, SH sendiri yang berjudul “Peningkatan dan Penyeragaman Adat Istiadat Uduluwo Lou Limo Lo Pahalaa” Dalam Menciptakan Masyarakat Adil dan Makmur”, yang dibacakan dalam seminar adat-istiadat daerah Gorontalo 18 s/d 21 September 1971 di Limboto, sama sekali tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda bahwa falsafah ABSSBK memang telah menjadi milik masyarakat adat Gorontalo. Dalam membicarakan tentang bagaimana untuk meningkatkan dan menyeragamkan adat-istiadat Uduluwo Lou Limo Lo Pahalaa” Dalam Menciptakan Masyarakat Adil dan Makmur, sungguh sangat terasa aneh jika tidak dikaitkan dengan falsafah ABSSBK tersebut. Namun, sayang hal ini tidak disingung sama sekali oleh DR. Samin Rajik Nur. Bukankah falsafah tersebut konon telah diumumkan oleh tokoh pertama yang mendapatkan gelar pulanga (Eato), di daerah Gorontalo, dan kini telah menjadi tokoh legendaris di kalangan orang Gorontalo, dan seharusnya pengumuman Eato tersebut telah menjadi ingatan kolektif orang Gorontalo?

Fakta-fakta Sosial Yang Kurang Mendukung Akurasi ABSSBK
Untuk lebih jelas agar kita ketahui bahwa ungkapan ABSSBK adalah bukan milik asli orang Gorontalo, maka seminar adat-istiadat daerah Gorontalo yang diadakan pada tahun 1971 dapat dijadikan sbg acuan pemikiran dalam mengungkap persoalan ini.
Sebagian besar pemakalah dan bahkan tokoh-tokoh putra daerah dalam seminar adat-istiadat dan hukum adat Gorontalo yang pertama kali di adakan di Limboto pada tahun 1971, atas prakarsa Bupati Kepala Daerah Kabupaten Gorontalo, Kasmat Lahay BA, lagi-lagi di situ sama sekali mereka tidak pernah menyinggung dan bahkan memperbincangkan tentang keaslian falsafah hidup orang Gorontalo, yaitu; “Adat Bersendikan Syara’ Syara Bersendikan Kitabullah”. Baik, Kasmat Lahay selaku Bupati Gorontalo, S. Dalie BA, selaku Ketua DPRD GR Kabupaten Gorontalo, Taki Niode, selaku Walikota Kepala Daerah Kotamadya Gorontalo, Eddy Bakari, BA selaku Ketua DPRD-GR Kotamadya Gorontalo, Drs. Thahir A. Musa, selaku Dekan Koordinator IKIP Manado Cabang Gorontalo, dan Natzir A. Mooduto, baik selaku Kepala Dinas P & K Kabupaten Gorontalo, maupun ketua Panitia seminar, -- dalam acara pembukaan maupun penutupan seminar, masing-masing dalam sambutannya sama sekali tidak pernah menyinggung perihal falsafah hidup orang Gorontalo tersebut. Padahal tema yg diperbincangkan adalah soal yg begitu urgen yaitu adat-istiadat orang Gorontalo yang berkenaan dgn nilai-nilai budaya lokal yang dapat diharapkan menjadi penggerak roda pembangunan. Pertanyaannya adalah mengapa para tokoh-tokoh yg telah saya sebutkan tadi tidak ada satupun yang menyinggung tentang ABSSBK itu jika memang ungkapan/falsafah tersebut benar-benar asli milik org Gorontalo? Semestinya falsafah hidup tersebut telah membudaya, atau telah terekam dengan mantap dalam kepala masing-masing orang Gorontalo, apalagi mereka adalah para Pejabat Daerah.
Tokoh-tokoh selanjutnya yang membawa makalah dalam seminar akbar tersebut, misalnya; Dj. Buloto, selaku Bate-Bate Lou Limutu hanya membahas tentang “Pohutu”, khususnya Pohutu pada Hari-hari Besar Islam, yang seharusnya membahas tentang ABSSBK, namun tidak digubris sama sekali, kemudian, A.G. NauE, Kepala Binkab Kebudayaan Kabupaten Gorontalo, yang hanya menegaskan bagaimana hubungan antara adat Gorontalo dan hukum Islam bisa terjalin, namun tidak menjelaskan bagaimana adat bisa bersendikan kitabullah. Sedangkan sejarawan lokal Gorontalo, Kuno Kaluku, yang membahas tentang sejarah adat-istiadat Daerah Gorontalo, baru tampak peranan Islam terhadap adat Gorontalo. Kaluku hanya menjelaskan bahwa masuknya Islam di Gorontalo merupakan suatu rakhmat Allah, sebab Islam-lah yang menyempurnakan adat Gorontalo, dimana sebelumnya berdasarkan atas ketentuan-ketentuan alam. Artinya, Kaluku menjelaskan bagaimana terjadinya sinkretisme, karena umumnya adat tua Gorontalo tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga ajaran baru (Islam) dengan mudah diterima masyarakat Gorontalo. Akan tetapi, Kaluku juga tidak berani menegaskan secara historis bahwa ABSSBK telah menjadi milik asli orang Gorontalo pada saat Eato mengundangkannya di hadapan rakyatnya. Dan, Ketidakberanian Kaluku untuk menegaskan hal tersebut, mungkin disebabkan karena, selain beliau sangat arif dan bijaksana, dan juga mungkin karena sangat memegang teguh akan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan atau kaidah-kaidah ilmiah.
Perspektif sejarah, kita dapat pula melihat bahwa masuknya Islam di Gorontalo, sebagai akibat dari pengaruh kerajaan Ternate dan kerajaan Goa, Sulawesi Selatan. Sementara kerajaan Ternate dan kerajaan Goa yang notabene adalah dua kerajaan besar yang memberi pengaruh agama Islam kepada kerajaan Gorontalo, sama sekali tidak mengeksplisitkan adatnya bersendikan kitabullah, meskipun di kedua kerajaan tersebut sangat kental dengan syariat-syariat Islam dalam kehidupan beragamanya sehari-hari.
Jika memang ABSSBK itu sudah membudaya sejak abad 17, yg notabene 150 tahun lebih awal dari masyarakat Minangkabau --menurut salah satu tulisan putra daerah Gorontalo yg pernah saya baca, maka mengapa seolah-olah falsafah tsb sepertinya tidak hidup (melekat) dalam benak para Elit, Ilmuan, dan Bate-bate (Pemangku Adat) di Gorontalo pada tahun 1970-an itu? yg seharusnya selalu didengungkan oleh mereka seperti yang dilakukan oleh para “elit” saat ini, di tahun 2002 ini?
‘Adat Bersedikan Syara’ & Syara’ Bersendikan “Ayat Kauniyah” (Alam)’
Berdasarkan literatur yang membahas tentang Gorontalo, khususnya yang ditulis oleh warga Gorontalo sendiri memperlihatkan bahwa adat Gorontalo memang didasarkan atas ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam. Bahkan seorang Kuno Kaluku pun menyebutkan bahwa dasar pokok dari adat Gorontalo adalah “budi”, di mana budi pun berdasarkan pada ketentuan alam. Sebab, alam itu semata-mata adalah budi, yang penuh rahmat Tuhan. Alam pada dasarnya adalah semata-mata memberi, dan tanpa mengharapkan imbalan dari mahluk apa saja. Contohnya, matahari memancarkan sinarnya bukanlah untuk dirinya, melainkan untuk mahluk yang memerlukannya. Tanam-tanaman dapat menghasilkan buah bukanlah untuk matahari melainkan untuk mahluk hidup, khususnya mahluk manusia. Waktu siang digunakan manusia untuk bekerja, dan waktu malam digunakan untuk beristirahat. Dengan demikian, menurut Kuno Kaluku, adat Gorontalo yang berdasarkan ketentuan-ketentuan alam itu merupakan suatu rakhmat yang diperoleh Dotu-Moyang orang Gorontalo dari Tuhan Yang Maha Esa.
Literatur tentang Gorontalo juga mengungkapkan bahwa masyarakat Gorontalo pada masa pra-Islam adalah masyarakat pengabdi alam. Artinya, mereka mengkonsepsikan bahwa hanyalah alam yang tidak pernah menghianati pemiliknya. Demikian pula hanya dengan perjalanan matahari, bulan, dan bintang, -- mereka tidak pernah mengalami perubahan sepanjang manusia hidup (lihat Daulima, 1999).
Ketersediaan alam juga begitu kuat pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat Hulantalo dibidang politik. Dungga (dalam Nur, 1979:197) menyebutkan bahwa benda-benda alam dengan segala sifatnya, misalnya (1), dupoto = angin, (2), tulu = api, (3), taluhu = air, dan (4), huta = tanah, --di mana keempat unsur alam ini merupakan dasar falsafah adat Gorontalo, khususnya dalam sistem pemerintahan adat. Hal ini tampak dalam tujai (sanjak) yang menggambarkan seorang pemimpin harus dapat menguasai keempat unsur alam tersebut. Pidato (tujai) pada waktu penobatan berbunyi sebagai berikut:
Huta- huta lo ito Eya Tanah adalah tanah kepunyaan Tuanku
Taluhu- taluhu ito Eya Air adalah air kepunyaan Tuanku
Dupoto- dupoto ito Eya Angin adalah angin kepunyaan Tuanku
Tulu- tulu lo ito Eya Api adalah api kepunyaan Tuanku
Tawu-tawu lo ito Eya Manusia adalah manusia kepunyaan Tuanku

Kemudian, karena pengaruh Eato, tujai ini ditambahkan: Baitunya dila peluli hilawo: Tetapi Tuanku tidak diperbolehkan menyalahgunakannya (dalam Haga, 1981:3-4). Penambahan dari pengaruh Eato tersebut di atas, para sarjana di Gorontalo menyebutnya sebagai unsur sifat manusia, yaitu; rasa (budi). Ini dimaksudkan agar pemimpin tidak berbuat sewenang-wenang dalam menjalankan tugas-tugasnya (lihat; Nur, 1979).
Kedekatan orang Gorontalo pada alam telah lama diabadikan oleh Umar Djafar dalam syair lagunya yang berjudul; Hulandalo Lipuu yang bunyinya seperti berikut ini.
Hulandalo Lipuu Gorontalo negeriku
Pilotutu wao lau Negeri tempat kelahiranku
Dilata o li patau Yang tidak akan pernah kulapakan
Detunggu lo mate wau Sampai akhir hayatku

Tilongkabila hu idio Gunung Tilongkabila, gunungnya
Bone dutu laliyo Sungai Bone, sungainya
Limutu bulalio Danau Limboto, danaunya
Amani nitau lio Aman negerinya

Lipuu Hulandalo Negeriku Gorontalo
Teto wau bilandalo Di situ aku dilahirkan
Wau ma lo mololo Aku sangat merindukannya
Mo’otala hulandalo Bila meninggalkan Gorontalo

Hulandalo matolau Gorontalo akan kutinggalkan
Lipuu ilotoli anguu Negeriku yang sangat kucintai
Dilata o li patau Yang tidak akan pernah kulapakan
Detunggu lo mate wau Sampai akhir hayatku

Syair lagu di atas menggambarkan betapa kecintaan orang Gorontalo terhadap alam di kampung halamannya yang subur dan aman. Lipuu menunjukkan suatu tempat dimana gunung Tilongkabila, danau Limboto, dan sungai Bone bercokol. Meskipun letak gunung Tilongkabila, danau Limboto, dan sungai Bone sebenarnya dibatasi oleh wilayah-wilayah pemerintahan kota dan kabupaten, namun orang Gorontalo -- dalam hal ini diwakili oleh Umar Djafar menganggap bahwa tempat ketiga unsur alam tersebut tetap satu jua adanya, yaitu di Gorontalo.
Bahan seminar HUT Kabupaten Gorontalo yang disusun oleh Tim Peneliti -- berdasarkan SK. BKDH TK. II Gorontalo. No.201. tanggal 5 Juli 1993, juga menyebutkan bahwa kultur masyarakat Limo Lo Pohalaa bersumber pada falsafah adat yang bersendikan pada ketentuan-ketentuan alam. Prinsip kehamonisan, kesalarasan dan keseimbangan dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat telah diajarkan oleh alam.
Hasil seminar adat pada tahun 1971 juga menandaskan bahwa falsafah hidup orang Gorontalo sebenarnya bersandarkan pada alam, karena dari alam dan sekitarnyalah nenek moyang orang Gorontalo menjadikannya sebagai tempat mencari dasar-dasar sendi hidup dan cara berfikirnya, sehingga berfikirnya orang Gorontalo tentang hukum, sejarah, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan tidak lain berfikir tentang alam (lihat Agiorno H. Dungga, 1971:9). Oleh karena cara berfikir tentang alam tidak bertentangan dengan ajaran Islam yg umumnya dianut orang Gorontalo, maka falsafah hidup tersebut disesuaikan, atau diintegrasikan ke dalam ajaran Islam. Dalam ilmu antropologi fenomana tersebut dikenal dengan istilah sinkretisasi. Oleh karena itu, mungkin ungkapan yang pas dan objektif menurut kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku untuk daerah adat “Limo Pahalaa” ini adalah “Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Ayat Kauniyah”. Mengapa alam? sebab, alam juga termasuk ayat-ayat Allah bagi siapa yang mau berfikir (Ulil Albab). Wallahu a’lam bisawab. Semoga bermanfaat.

Daftar Bacaan

Ali, Fachry, dkk
1996 Gobel, Budaya dan Ekonomi: Tentang Wirausaha, Manajemen, dan Visi Industri Thayeb Mohammad Gobel. Jakarta: LP3ES.

Ali, Faried
1965 Sistem Administrasi Pemerintahan daerah Gorontalo Dalam Masa Hindia Belanda. Naskah ketik.

1974 Pengarauh Lembaga Adat Terhadap Perilaku Administrasi Pemerintahan Pada Masyarakat Kabupaten Gorontalo. Naskah Ketik.

Badjeber, Zein
1962, Kepatriotan Rakyat Gorontalo Modal Kemerdekaan Indonesia Seluruhnya, Dwi Warna Dikibarkan tahun 1942. Pos Minggu Pagi 144 Th. 3, 28 Januari

Baga, A.I.
1968 Sekapur Sirih Tentang Kebudayaan daerah Gorontalo. Manuskrip tidak diterbitkan

Bastiaans, J
1938 Het verbond tusschen Limboto en Gorontalo. TBC. Dijk. Van. Soehardi (penerjemah).

1939 Batato’s in het oude Gorontalo in het verband met den Gorontaloleeschen Staatbouw. TBG deel 79.

Broersma, A
1931 Gorontalo een handelscentrum van Noord Celebes. TAG deel XLVIII.

Blau, Peter. M
1977, Inequality and Heterogenity Primitive Theory of Social Structure. New York: Free Press.

Bradley, H.
1996, Fractured Identities : Changing Patterns of Inequality, Cambridge, Blackwell Publishers Inc.

Bratakusuma, Deddy Supriady
1999, Masa Depan Otonomi Daerah: Implikasi UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 Terhadap Pengembangan Daerah, Jurnal Otonomi 1 (1) : 35-76.

Bruner, Edward M.
1974 ‘The Expression of Ethnicity in Indonesia’, dalam Urban Ethnicity. Abner Cohen (ed.). London: Tavistock, Hal : 251-288.

1986, “Experience and Its Expressions”, dalam Anthropology of Experience, Victor W. Turner & Edward M. Bruner (eds.), Chicago : University of Illionis Press.

Budisantoso, S.
2000, Bangkitnya Kembali Kesukubangsaan dalam Masyarakat Indonesia, dalam Jurnal Ketahanan Nasional V. (2): 47-56.

Castles, Lance
1982, Birokrasi dan Masyarakat di Indonesia, Jakarta: FIS-UI. Hal: 18-19.

Cohen, Abner
1971, Custom and Confict in Urban Africa. Berkeley: University of California Press.

1979, “Political Symbolism”, Annual Review of Anthropology, 8: 87-113.

Cohen, R.
1978, “Ethnicity: Problem and Focus in Anthropology”, Annual Review of Anthropology, 7: 379-404.

Crawford, Beverly & Ronnie D. Lipschutz
1998, The Myth of “Ethnic Conflict”: Politics, Ekonomics, and “Cultural” Violence. Berkeley: University of California.

Dagmar, J. M
1978, Aborigines and Poverty: A Study Interethnic Relations and Culture Conflict in Western Australian Town. Ph.D. Thesis. Nijmegen: Nijmegen University.

Damis, Mahyudin
1999, Taptu-Hijrah di Kalangan Kaum Muda Islam Manado, Sulawesi Utara : Sebuah Interpretasi. Tesis Magister, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Emerson, R.
1962, From Empire to Nation: The Rise of the Assertion of Asian and African People. Boston, Beacon Press. Hal: 95.

Enloe, Cintya
1980, “Ethnicity Diversity : The Potential For Conflict” dalam Diversity and Development in Southeast Asia : The Coming Decade. G. Pauker, F. Golay, dkk. (peny.). New York : Mc Graw Hill Book Co. Hal: 137-182.

Eriksen, T. Hylland
1993, Ethnicity & Nationalisme : Anthropological Persfectives.

Daulima, Farha
1999 Sejarah Pemerintahan Kerajaan Gorontalo. Gorontalo: Sanggar Budaya “Dulohupa”.
1999 Lo Mongopanggola (Peredaran Bintang, Bulan, Hari, dan Jam Menurut para Tua-tua di Daerah Gorontalo). Gorontalo: Sanggar Budaya “Dulohupa”.

Djawatan Penerangan R.I Kotamadya Gorontalo.
1968 Asal usul Kota Gorontalo. Panitia Ulang Tahun Sewindu Kotamadya Gorontalo 20 Mei 1968.

Haga, B.J.
1924 Indonesische en Indische Democratie. Proefscrift Leiden. N.V. Handelsdrukkerij “Dester” Den Haag.

1931 De Lima Pahalaa (Gorontalo), volksordening, adatrecht en bestuurspolitiek. TBG deel 71.

1981 Lima Pahalaa, Susunan Masyarakat, Hukum Adat dan Kebijaksanaan Pemerintahan di Gorontalo. Lampiran IV. Jakarta: Penerbit Djambatan dan Inkultra Foundation Inc.

Hoevell, G.W.W. van
1891 De Assistent-Residentie Gorontalo.

Husain, Sjarif
1968 Perang Panipi. Naskah ketik.

Iskandar, Andi
1974 Sawerigading a Comparison of the I Lagaligo of South Celebes with Folktales from Central Celebes South Celebes, Gorontalo and Malaysia, UNHAS: Ujung Pandang.

Jasssin. B. Dkk
tt. Tjatatan Sedjarah Singkat Kerajaan Gorontalo Doeloewo Limo Lopohalaa. Manuskrip tidak diterbitkan.

Jassin, J.N.
1969 Hukum Pidana Adat di Gorontalo serta Latar Belakangnya. Gema Pengadilan Tinng Sulawesi Utara/Tengah, Manado No.5.

Joest, Wilhelm
1883 Das Holondalo. Glossar und Grammatische Skizze Ein Beitrag Zur keuntniss der sprachen von Celebes.

Kaloekoe, D
Sedjarah Penobatan Sultan jang Gagal. Manuskrip tidak diterbitkan.
Surat Kabar dan Majalah.
‘Konseptor Otonomi Daerah Mundur” Forum Keadilan, No. 40. 7 Januari 2001
“Otonomi:Makmur atau Terpuruk?“Suara Gorontalo, Edisi 4, Th I. Agt. 2000
“Etno-nasionalisme dan Disintegrasi”, Kompas, 22 November 2000
“ Puluhan Mahasiswa Inginkan Provinsi Gorontalo’ Kompas, 7 Desember 1999
‘Provinsi Gorontalo, Nurani Nani Wartabone’, Kompas, 8 Desember 2000
“Negara Lalailakan Perlindungan pada Kebudayaan Lokal”, Kompas, 24 Juli 2001
‘Provinsi Gorontalo Sudah Harga Mati”, Harian Gorontalo, 10 Juli 2000
’32 Tahun Gorontalo ‘Anak Tiri’, Harian Gorontalo, 20 Oktober 2000
‘Gorontalo Jumat 1942 Terulang’, Harian Gorontalo, 21 Oktober 2000
“Provinsi Gorontalo dan Isu Gubernurnya”, Harian Gorontalo, November 2000
‘Mendagri: Apakah Gorontalo Sudah Layak’, Harian Gorontalo, 26/10 2000
‘Mahyudin Damis: Provinsi Tegakkan Identitas’, Harian Gorontalo, 10/3 2001
‘Provinsi Gorontalo, Why Not’, Manado Post, 16-17 Januari 2000
‘Menata Harapan Provinsi Gorontalo ke Depan, Manado Post, 12 Desember 2000
‘Provinsi Gorontalo, ‘Warning’ Buat Sulut, Manado Post, 12 Maret 2001
‘Provinsi Gorontalo Murni Aspirasi Warga’ ManadoTelegraf, 18 Oktober 2000.

No Response to "Tinjauan Kritis Terhadap Falsafah “ABS dan SBK’ di Gorontalo"

Posting Komentar