Idul Adha dan Emansipatori Politik

Oleh: Mahyudin Damis

Idul Adha atau Idul Qurban, kata para ulama adalah hari raya penghambaan. Umat manusia diperintahkan Tuhan untuk menyembelih hewan sebagai qurban, terutama mereka yang mampu wajib mempersembahkan hewan yang terbaik pada 10 Zulhijjah atau hari-hari tasyriq (11,12, dan 13 Zulhijjah). Hal ini dimaksudkan agar kaum duafa, atau orang yang sedang dalam “penderitaan” dapat menikmati rezeki dari orang-orang yang telah rela berqurban itu.
Dalam sejarah manusia, qurban adalah salah satu ibadah tertua. Qurban pertama dilakukan oleh putra Nabi Adam; Habil dan Qabil. Habil adalah tokoh pertama yang mempersembahkan qurban terbaik, sehingga Allah memberikannya ganjaran predikat “orang yang Taqwa”. Berbeda dengan saudaranya Qabil, Allah menolak qurbannya karena ia hanya mempersembahkan qurban yang buruk.
Perintah qurban yang kedua kepada Nabi Ibrahim tidak lagi sekedar menyembelih hewan atau mempersembahkan hasil kebun, tetapi perintah menyembelih Ismail, putra satu-satunya yang sangat disayanginya. Kesabaran dan kebesaran jiwa Ibrahim untuk berqurban disambut pula kesabaran dan kebesaran jiwa Ismail alaihimas-salam dengan mengucap;”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Buah dari kesabaran dan kebesaran jiwa Ibrahim dan Ismail itu, Allah menggantikannya dengan seekor sembelihan yang bagus (Q.S.ash-Shaffat;102-107). Peristiwa bersejarah sepanjang masa ini memperlihatkan kepada kita bahwa kedua Nabi itu berhasil melaksanakan ujian berat dari Allah, dan Allah pula memberi balasan kepada mereka karena telah menghambakan dirinya.
Apa yang dapat ditangkap dari peristiwa qurban di atas jika kita hubungkan dengan kondisi bangsa kita saat ini? Cukupkah kita melestarikan qurban seperti yang dikerjakan Habil? Apakah setiap muslim Indonesia yang kebetulan mampu cukup menyembelih seekor hewan qurban langsung memberi dampak kehidupan yang lebih baik bagi si miskin atau sebagian besar masyarakat Indonesia yang sedang dalam kondisi menderita?
Emansipatori Politik
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas maka doktrin keagamaan perlu dimaknai kembali sesuai dengan konteks ruang dan waktunya. Doktrin agama sangat penting dikontekstualisasikan agar lebih menyentuh hajat hidup masyarakat luas. Sejalan dengan apa yang dikatakan Zuhairi Misrawi (2003) bahwa agama sejatinya didesak untuk memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang universal. Karenanya, agama mesti dipaksa beranjak dari masjid-masjid menuju ranah sosial, politik dan budaya, sehingga mampu memberi dorongan moral untuk keluar dari segala bentuk belenggu.
Bila kita sepakat bahwa keterpurukan bangsa Indonesia selama ini penyebab utamanya adalah korupsi, maka warga muslim yang berada dalam lembaga-lembaga terkorup seperti; partai politik, parlemen, kepolisian, bea cukai, peradilan, perpajakan, bidang registrasi, perizinan, dan sektor swasta (hasil survei Global Corruption Barometer 2005 dalam Kompas, 28/12/05) sudah saatnya memiliki visi dan misi keberagamaan yang membebaskan dan mencerahkan.
Bertolak dari fakta bahwa penduduk di negeri ini adalah mayoritas muslim, maka dapat dipastikan bahwa warga muslim Indonesia sendirilah yang telah memberikan kontribusi terbesar dalam praktik kejahatan korupsi. Oleh karenanya, untuk keluar dari keterpurukan yang sedang dialami bangsa ini, maka umat Islam wajib memolopori pemberantasan korupsi yang sudah menjadi way of life ini. Spirit ibadah qurban yang dicontohkan Nabi Ibrahim bersama putranya Ismail sangat relevan dipraktikkan oleh selain warga muslim yang ada dalam lembaga-lembaga terkorup itu, dan juga masyarakat Indonesia pada umumnya yang mungkin pula telah memberi andil dalam praktik korupsi.
Masyarakat Indonesia begitu penting mengambil manfaat dari makna ibadah qurban yang terdalam yaitu; memiliki kebesaran jiwa dan ketulusan hati. Bangsa kita yang sedang terpuruk ini sangat membutuhkan kehadiran Ibrahim-Ibrahin baru, dan Ismail-Ismail baru. Artinya, kini saatnya kita menghadirkan kemauan, keberanian dan ketulusan hati (political-will) dari semua pihak untuk “menyembelih” berbagai kepentingan, kemauan-kemauan, cita-cita, dan keinginan-keinginan atau niat (nawaytu) yang dapat menghambat jalannya pemberantasan korupsi di negeri ini. Sebab jika kepentingan-kepentingan itu tetap dibiarkan bersemayam dalam diri kita, maka tindak kejahatan korupsi berjalan terus yang pada akhirnya akan melahirkan rasa ketidak-adilan, kesenjangan sosial, bencana gizi buruk, bencana kelaparan, pencurian kekayaan laut dan sumber daya alam lainnya, bencana banjir bandang, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan yang tak kunjung usai.
Doktrin Agama Membumi
Adalah benar kata para ulama bahwa kemunduran umat Islam di dunia selama ini lebih disebabkan karena umat Islam telah jauh dari ajaran Islam itu sendiri. Oleh karenanya, sebagai pengikut agama yang mempunyai doktrin-doktrin simbolik, kita tidak hanya wajib menunaikannya secara literal dan tekstual (al-fahm al-harfy), namun harus dipraktikkan pula secara nyata akan makna yang terkandung di dalamnya.
Bahwa melaksanakan doktrin agama secara nyata dalam kehidupan sosial, wajah Islam yang sesungguhnya akan lebih tampak di permukaan, yaitu Islam sebagai rahmatan lil-alamin (rahmat bagi semesta alam). Akhirnya, idul adha dimaknai sebagai hari raya penghambaan, karena selain terjalinnya hubungan kedekatan dengan Ilahi, dan juga tumbuh dan mantapnya rasa solidaritas sosial. Yang dibutuhkan di sini adalah kebesaran jiwa dan ketulusan hati kita, sebagaimana yang telah dipraktikkan Ibrahim dan Ismail. Bisakah kita? Semoga.!


Artikel ini dimuat di Manado Post, 2001

No Response to "Idul Adha dan Emansipatori Politik"

Posting Komentar