“Mengapa Gorontalo Memisahkan Diri?”

Oleh: Mahyudin Damis

Pendahuluan

Pembangunan Indonesia di masa Orde Baru, yang berakhir dengan krisis multi dimensi berkepanjangan disebabkan antara lain oleh sentralisasi kekuasaan. Dalam pandangan orang Gorontalo, sentralisasi kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah pusat, selain telah melahirkan kesenjangan dan ketimpangan pembangunan di berbagai bidang kehidupan masyarakat antar daerah dan kawasan, dan juga hanya menguntungkan pemerintahan pusat di Jakarta maupun pemerintahan pusat di tingkat provinsi.
Munculnya serangkaian gugatan dari daerah-daerah tingkat II Gorontalo (sekarang setingkat kota dan kabupaten) yang tertuju pada persoalan pembagian kekuasaan dinilai tidak seimbang karena “pemerintah pusat” lebih dominan, sedangkan daerah-daerah tingkat II tersubordinasikan. Orang Gorontalo yang status daerahnya berada di daerah tingkat II merasa diperlakukan tidak adil dari segi ekonomi yang ditandai dengan eksploitasi potensi daerah, budaya, dan politik -- baik oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Manado) yang di dominasi oleh etnik Minahasa maupun Pemerintah Pusat (Jakarta) yang didominasi oleh etnik Jawa.
Pemerintahan Pasca Orde Baru sangat menyadari bahwa krisis tersebut, tidak bisa diatasi jika tidak menyertakan seluruh komponen bangsa. Untuk itu, pemberdayaan daerah adalah salah satu solusinya, sehingga keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 dan Undang-undang No.25 Tahun 1999, yang sering disebut UU Otonomi Daerah. Tujuan undang-undang ini pada hakekatnya mengadakan perbaikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan menekankan pada prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi keanekaragaman budaya daerah. Oleh karenaya, lahirnya kedua UU tersebut --- seolah-olah telah memberikan spirit bagi orang Gorontalo yang dimotori para mahasiswa asal Gorontalo untuk melakukan gerakan pemisahan diri dari provinsi induknya yaitu Provinsi Sulkawesi Utara.
Diasumsikan bahwa sejumlah faktor telah menjadi penggerak dalam munculnya kesadaran komunitas Gorontalo akan pentingnya sebuah provinsi. Dalam konteks lahirnya propinsi Gorontalo, keyakinan pada aqidah Islam dan pelaksanaan adat yang kental di kalangan masyarakat memiliki peranan penting. Hal itu tercermin misalnya dalam spanduk-spanduk yang berisi kutipan dari Q.S. Arra’du ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib suatu kaum hingga kaum itu merubah nasibnya sendiri”. Ayat ini dianggap telah memberikan motivasi pada orang Gorontalo untuk secara teguh memperjuangkan otonomi DRASTIS (Damai, Rasional, Sejuk dan Etis) (Harian Gorontalo, 6/7/2000). Pentingnya Islam dapat pula dilihat dalam penggunaan falsafah yang sangat populer, “Adat bersendikan syara, dan syara bersendikan Kitabullah”.
Gerakan pemisahan diri tidak dapat pula dipisahkan dari proses dominasi Orde Baru yang membatasi kekebasan budaya, dan adat lokal sebagai eksistensi masyarakat adat. Hal ini dapat dilihat pada kebijakan penyatuan daerah-daerah dalam suatu istilah BOHUSAMI (Bolaang Mongondow, Hulontalo, Sangir, Talaud, dan Minahasa) yang bermakna penyeragaman. Istilah Bohusami selama Gorontalo menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Provinsi Sulut seolah-olah telah menjadi konsep kebersamaan hidup dalam keberagaman kebudayaan.

Hubungan Gorontalo dengan Pemerintah Pusat

Hubungan antara Gorontalo sebagai daerah Tingkat II dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara maupun Pemerintah Pusat menyajikan suatu gambaran unik dalam sejarah politik Indonesia. Kekhasan sejarah dan kebudayaan masyarakatnya menjadikan Gorontalo harus dihadapi oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara yang didominasi etnis Minahasa maupun Pemerintah Pusat yang didominasi etnis Jawa terutama pada era reformasi. Secara historis, di satu pihak Gorontalo memiliki catatan sejarah yang panjang tentang perlawanan terhadap Belanda dan bahkan telah menunjukkan upaya integrasi yang kuat dengan wilayah Indonesia lainnya. Kuatnya integrasi ini disebabkan karena pada masa kolonial masyarakat Gorontalo telah berhubungan dengan organisasi-organisasi nasionalis berbagai daerah lain di Nusantara . Sebagai akibat dari hubungan yang mantap antara rakyat Gorontalo dengan organisasi sosial dan politik yang umumnya lahir di pulau Jawa, maka strategi atau siasat perjuangan melalui organisasi sosial dan politik telah melahirkan kesadaran akan pentingnya kemerdekaan. Akhirnya, rakyat Gorontalo memproklamirkan kemerdekaan lebih awal daripada proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya jatuh pada hari Jumat 23 Januari 1942 yang dikenal dengan Peristiwa Merah-Putih . Rakyat Gorontalo yang dipimpin oleh Nani Wartabone mengadakan rapat umum di pusat kota Gorontalo untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia. Nani Wartabone yang bertindak sebagai inspektur upacara di hadapan massa rakyat mengucapkan pidato singkat dengan isi pokok sebagai berikut:

“Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942 kita bangsa Indonesia yang berada di sini, sudah merdeka bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, Pemerintah Belanda sudah diambil alih Pemerintah Nasional”.

Isi pidato Nani Wartabone tersebut di atas memperlihatkan bahwa meskipun bangsa Indonesia secara keseluruhan masih harus menunggu kurang lebih tiga tahun lagi untuk memproklamirkan kemerdekaannya, namun rakyat di Gorontalo seolah-olah telah bangkit mewakili bangsanya untuk lepas dari penjajahan. Isi pidato tersebut juga memperlihatkan bahwa loyalitas rakyat Gorontalo akan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak diragukan lagi. Setelah memproklamirkan kemerdekaan, kemudian para pejuang kemerdekaan Gorontalo pun langsung membentuk Pucuk Pimpinan Pemerintah Gorontalo (PPPG) hingga masuknya Jepang di daerah itu . Adanya Pucuk Pimpinan Pemerintah Gorontalo tersebut melambangkan bahwa pemerintahan kolonial telah diambil alih oleh bangsa yang memang berhak menjadi penguasa di daerahnya sendiri.
Di pihak lain, perjuangan rakyat Gorontalo dalam masa revolusi nasional hingga munculnya gerakan PRRI/Permesta (1957-1958) sebenarnya merupakan perjuangan yang sangat berarti di mata Pemerintah Pusat. Peranan Gorontalo dalam memperjuangkan kembali keutuhan wilayah NKRI, seperti tampak pada kasus penolakan Ayuba Wartabone terhadap Negara Indonesia Timur (NIT) dengan pernyataannya yang menyebutkan bahwa “Rakyat Gorontalo sekali ke Yogya tetap ke Jogya, sekali Merdeka tetap Merdeka” di hadapan peserta konperensi NIT di Denpasar pada 22 April 1949. Penolakan rakyat Gorontalo yang diwakili Ayuba Wartabone terhadap NIT sebagai tanda menguatnya keberpihakan Gorontalo kepada Pemerintah Pusat . Pernyataan wakil Gorontalo tersebut tentunya membuat Belanda semakin khawatir karena pada saat yang sama Belanda sedang berusaha meyakinkan dunia internasional bahwa mayoritas rakyat Indonesia, terutama luar Jawa, setia padanya . Kemudian, pada masa Permesta, ketidak-berpihakan etnis Gorontalo pada umumnya, dan bahkan melakukan aksi penentangan terhadap gerakan Permesta sebenarnya telah menciptakan suatu hubungan istimewa -- setidak-tidaknya dalam pikiran orang Gorontalo bahwa antara mereka dengan Pemerintah Pusat telah tercipta suatu hubungan yang baik sejak dalam masa revolusi hingga masa munculnya gerakan separatis di Sulawesi yang dipelopori oleh etnis Minahasa. Untuk itu, sebagai bentuk perhatian Pemerintah Pusat terhadap Gorontalo pun berlanjut. Hal ini ditandai dengan adanya bantuan Pemerintah Pusat berupa kehadiran pasukan Operasi Saptamarga II Batalion 512 Brawijaya di Gorontalo pada tanggal 18 Mei 1958 untuk membantu pasukan Nani Wartabone dengan “Pasukan Rimba”-nya yang sedang bergerilya dalam rimba Suwawa guna mengusir tentara Permesta dari daerah Gorontalo .
Dari sudut pandang politik kekuasaan, hubungan antara Gorontalo dan Jakarta sebetulnya didasarkan pada situasi saling ketergantungan pada periode1942-1949. Bagi Pemerintah Pusat, pentingnya Gorontalo terletak dalam kenyataan bahwa daerah itu benar-benar merdeka dan berada di luar kendali Belanda, di satu pihak. Akan tetapi, Gorontalo dalam pandangan pemerintah kolonial Belanda merupakan daerah periferal, seperti halnya semua daerah di luar Jawa terutama daera-daerah yang terletak di bagian Timur, di lain pihak. Namun demikian, sikap kebencian rakyat Gorontalo terhadap pemerintah kolonial Belanda begitu kuat tampak dengan dibentuknya “Dewan Nasional” pada 5 Nopember 1945 yang memiliki sikap menolak kekuasaan NICA, dan berjuang di bawah panji kebangsaan Merah-Putih dalam lingkungan Pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Jawa .
Pentingnya peranan Gorontalo dalam masa revolusi nasional paling tidak telah menunjukkan sikap loyalitas mereka yang besar kepada Republik. Gorontalo yang memperoklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1942, mengandung suatu pengertian bahwa daerah dan segenap masyarakat Gorontalo sangat setia kepada kepemimpinan nasional dan juga keutuhan wilayah NKRI. Untuk kelanjutan perjuangan kemerdekaan tersebut dibentuk pula Pucuk Pimpinan Pemerintah Gorontalo (PPPG) sebagai bentuk pengambilalihan kekuasaan dari tangan penjajah. Kemudian, tidak berpihaknya etnis Gorontalo dan bahkan melakukan aksi penentangan terhadap gerakan Permesta, paling tidak Gorontalo telah menjadi penghambat meluasnya wilayah pengaruh Permesta hingga ke Sulawesi Tengah . Perjuangan-perjuangan tersebut di atas tentunya telah merupakan indikator pentingnya Gorontalo di mata Pemerintah Pusat. Pentingnya peranan Gorontalo dalam masa pergolakan, dalam arti telah memperkuat kemampuan posisi tawar-menawar (bargaining posistion) rakyat Gorontalo kepada Pemerintah Pusat. Kebutuhan akan dukungan rakyat Gorontalo tersebut menyebabkan Pemerintah Pusat memberikan jabatan penting kepada Nani Wartabone selaku tokoh dan pemimpin yang sangat disegani di daerah itu sebagai Kepala Daerah Sulawesi Utara dengan wilayah yang sangat luas karena melingkupi bekas afdeling Gorontalo termasuk Buol dan Bolaang Mongondow, di mana Gorontalo sebagai pusat pemerintahannya. Kemudian, di satu pihak perjuangan Gorontalo menentang kolonial Belanda, para pemimpinnya sejak awal telah mengaitkan kemerdekaan mereka dengan nasib rakyat dan daerah lainnya yang ada dalam Republik. Sementara, di lain pihak para pemimpin Gorontalo harus pula berhadapan dengan para pemimpin etnis Minahasa yang sedang terlibat dalam gerakan Permesta. Dengan melihat gelagat Nani Wartabone dengan “Pasukan Rimba”nya yang tidak mentolerir atau tidak memperlihatkan keberpihakannya itu, dan bahkan melakukan aksi penentangan terhadap gerakan Permesta, maka para pembesar Permesta dengan sengaja mengadakan Konperensi Kerja Permesta di Gorontalo pada tanggal 20 Januari 1957 yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Permesta seperti Ventje Sumual dan D.J. Somba . Pada konperensi itu, secara sepihak diumumkan pembentukan suatu provinsi baru, yaitu provinsi yang pernah dipimpin oleh Nani Wartabone . Provinsi yang didirikan secara sepihak itu, Permesta mengangkat H. D. Manoppo asal Bolaang Mongondow sebagai gubernurnya, yang sebelumnya adalah pejabat residen-koordinator Sulawesi Tengah .
Namun demikian, sifat hubungan antara Gorontalo dan Pemerintah Pusat pada tahun 50-an hanya berlangsung singkat, karena adanya pertentangan pendapat antara Kepala Daerah di satu pihak dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di lain pihak. Pihak DPD dan DPRD memandang bahwa Kepala Daerah Sulawesi Utara impotent dalam keperintahan Daerah Sulawesi Utara, dan hanya bertugas sebagai administratif saja. Sedangkan dari pihak Kepala
Daerah Sulawesi Utara masih tetap berpegang kepada surat kawat Acting Gubernur Sulawesi tanggal 9 Oktober 1950. No.35/UDM/DS yang menyatakan bahwa Dewan Sulawesi Utara yang justru telah impotent, dan tidak diakui lagi oleh rakyat, teristimewa oleh daerah-daerah bagian (Gorontalo, Bolaang Mongondow dan Buol). Akhirnya, atas kebijakan politik Pemerintah Pusat, Kepala Daerah Sulawesi Utara, Nani Wartabone digantikan oleh Samadikun, sedangkan Nani Wartabone dipindahkan ke Minahasa . Meskipun demikian, rakyat dan pemimpin Gorontalo masih sangat setia kepada kepemimpinan nasional. Tidak sukar bagi mereka untuk tetap setiap kepada pemerintah Pusat, sebab selain mereka merasa aman dengan situasi dan kondisi yang ada, lagi pula kesetiaan kepada Pemerintah Pusat memang merupakan komitmen mereka sejak memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1942.

Posisi Politik Orang Gorontalo di Manado, 1955-1971
Bila dalam masa revolusi perhatian Pemerintah Pusat lebih ditujukan kepada usaha mempertahankan kemederkaan , maka dalam masa-masa sesudah penyerahan kedaulatan tampaknya perhatian lebih diarahkan kepada usaha memposisikan partai-partai sebagai sarana rekrutmen tokoh-tokoh partai mendapatkan tempat, dan kalau mungkin tempat yang menentukan dalam kabinet. Hal ini berlaku bagi semua partai, termasuk partai-partai Islam . Di Sulawesi Utara, pemilu tahun 1955 yang dikenal sebagai pemilu yang paling demokratis di Indonesia berhasil mengantarkan seorang tokoh PSSI dari etnis Gorontalo yaitu Jakin Intan Permata menjadi Walikota Manado. Meskipun pekerjaan tetapnya hanya sebagai tukang pangkas rambut di Manado, namun karena pemilu yang dilaksanakan secara demokratis itu ia dapat menduduki jabatan walikota Manado pada tahun 1955-1958 . Terpilihnya J.I. Permata menjadi Walikota Manado merupakan tanda bahwa besarnya dukungan masyarakat Gorontalo pada PSII, baik yang ada di daerah Gorontalo maupun yang berdomisili di Manado. Dukungan tersebut masih berlanjut hingga pemilu pertama di era Orde Baru tahun 1971. Bukti bahwa kuatnya dukungan masyarakat Gorontalo kepada partai ini, Ahmad Husain seorang wartawan surat kabar dari etnis Gorontalo yang juga berdomisili di Manado berhasil pula menduduki jabatan Ketua DPRD Gotong-Royong Provinsi Sulawesi Utara sejak tahun 1967 hingga 1971 .
Suatu hal yang sangat menarik adalah, pada saat menjelang Permesta berakhir dimana masa Demokrasi Terpimpin juga sedang berlangsung keluarlah surat “Penetapan Presiden” No.29 Tahun 1959 dari Presiden Soekarno yang berisi tentang penugasan Arnold. A. Baramuli, putra daerah Sangir Talaud yang sedang bertugas sebagai jaksa Departemen Dalam Negeri untuk menduduki jabatan Gubernur Sulawesi Utara-Tengah (Sulutteng) . Dikeluarkannya surat “Penetapan Presiden” tersebut berarti wilayah Daerah Keperintahan Sulawesi Utara (DKSU) yang meliputi Gorontalo, Bolaang Mongondow dan Buol, dan wilayah daerah bagian Utara Provinsi Sulawesi (Minahasa dan Sangir Talaud) telah disatukan Pemerintah Pusat menjadi sebuah provinsi. Dalam mengemban tugasnya, Baramuli sadar bahwa daerah provinsi baru yang dipimpinnya itu masih rawan dan bergejolak maka setiap kali ia mengangkat pejabat di daerah itu selalu mempertimbangkan segi etnis dan aliran politik .
Ditariknya Baramuli kembali Jakarta pada bulan Juni 1962, adalah awal dan terakhir kalinya bagi etnis Sangir Talaud diberi kesempatan untuk menjadi gubernur di Provinsi Sulawesi Utara oleh Pemerintah Pusat dengan sistem politiknya yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin. Lepas dari situasi dan kondisi politik yang terjadi di Pusat maupun di daerah, namun hal ini menunjukkan bahwa periode Demokrasi Terpimpin yang sering disebut sebagai era pemerintahan yang bertentangan dengan alam demokrasi atau lebih dikenal dengan otoriterianisme itu justru merupakan era yang pernah menempatkan etnis minoritas di provinsi Sulawesi Utara menjadi gubernur definitif. Sebab, setelah Baramuli tidak ada lagi etnis minoritas lainnya di kawasan itu (misalnya orang Gorontalo, Bolaang Mongondow, Sangir dan Talaud) yang mendapatkan kesempatan untuk menduduki jabatan gubernur definitif, hingga era kabinet Gotong-royong di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.
Memasuki tahun 1963 hingga 1965 di mana tahun ini menurut Herbert Feith merupakan fase terjadinya polarisasi dalam Demokrasi Terpimpin yang pada saatnya justru menimbulkan konsekuensi yang lebih dahsyat dibandingkan dengan polarisasi akhir masa Demokrasli Liberal , -- Pemerintah Pusat mengangkat F.J. Tumbelaka dari etnis Minahasa berpangkat Letnan Kolonel, yang pernah menjadi perunding utama mewakili TNI dengan kaum pemberontak Permesta pada tahun 1960-1961, sebagai Gubernur Provinsi Sulawesi Utara sejak 15 Juli 1962 hingga 19 Maret 1965 .
Dengan berakhirnya kekuasaan Soekarno melalui Surat Perintah 11 Maret 1966, maka habis pula masa sistem politik yang konon otoriter dengan Demokrasi Terpimpinnya itu. Orde Baru yang merupakan implementasi dari aliansi ABRI, terutama Angkatan Darat sebagai aktor utama dengan kaum teknokrat sebagai aktor pendamping tampil ke pentas politik. Tampilnya Orde Baru telah menggeser sistem politik Indonesia yang otoriter ke sistem demokrasi liberal kembali yang namanya dikenal dengan sistem politik Orde Baru . Pada mulanya Orde Baru memulai dengan langkah demokratis di bidang politik dan berusaha memberikan kepuasaan di bidang ekonomi . Kebijakan di bidang politik Orde Baru di Provinsi Sulawesi Utara ditandai dengan munculnya nama Abdullah Amu beretnis Gorontalo dari kalangan TNI-AD sebagai penjabat gubernur (27 April 1966 – 01 Maret 1967) setelah menggantikan penjabat sebelumnya yaitu Sunandar Prijosudarmo sejak 18 Maret 1965 hingga 26 April 1966 .

Periode Orde Baru: Langkanya Jenderal Orang Gorontalo
Langgam pluralistik pemerintah Orde Baru masih tampak ketika mengangkat Letkol Rauf MoO beretnis Gorontalo menjadi Walikota Manado sejak 1966 hingga 1971 yang meskipun Rauf MoO adalah seorang anggota TNI-AD yang juga pernah ikut menandatangani Piagam Permesta di Makassar. Menurut hemat penulis, pengangkatan ini karena selain Pemerintah Pusat ingin menunjukkan bahwa kecurigaan terhadap para anggota TNI yang pernah terlibat dalam gerakan Permesta tidak lagi dipersoalkan, karena membutuhkan legitimasi dari semua elemen, dan juga karena ini merupakan strategi pemerintah Orde Baru untuk mencari bentuk pemantapan legitimasi.
Namun demikian, Pemerintah Pusat tampaknya lebih percaya kepada seorang jenderal TNI-AD dari etnis Minahasa yang tidak pernah terlibat dalam gerakan Permesta untuk menduduki jabatan gubernur di Provinsi Sulawesi Utara. Untuk itu Jenderal Soeharto memilih Brigjen TNI H.V. Worang . Begitu kuatnya kepercayaan Soeharto terhadap Worang sehingga ia dapat menduduki jabatan tersebut hingga dua periode yaitu sejak 2 Maret 1967 hingga 19 Juni 1978. Lebih dari separoh masa jabatan Worang dijalaninya maka lahirlah UU. No.5 Tahun 1974 “Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah”. Undang-undang ini lebih membuat pola hubungan kekuasaan antara Gorontalo dengan Pemerintah Pusat semakin terasa “renggang”. Sebab, Gorontalo tidak lagi secara leluasa dapat mengartikulasikan semua kepentingannya, termasuk di dalamnya masalah kewenangan untuk mengatur daerahnya.
Ketika era baru politik Indonesia dimulai dengan menampilkan militer sebagai pelaku utama dan kaum teknokrat sebagai pelaku pendamping tampil ke pentas perpolitikan di Indonesia maka tamatlah kedekatan hubungan antara Gorontalo dan Pemerintah Pusat. Konsolidasi kekuasaan oleh Pemerintah Pusat dan orang-orang Minahasa, baik dari kalangan TNI maupun cerdik pandai di Jakarta dan Manado mengakhiri hubungan yang telah ada antara Pemerintah Pusat dengan elit Gorontalo. Hal ini mungkin disebabkan karena antara lain; Di satu sisi, langkanya perwira tinggi TNI-AD asal Gorontalo di Jakarta yang bisa direkrut oleh Soeharto, dan juga karena kalangan cerdik pandai Gorontalo sendiri lebih banyak yang memilih bekerja di daerah yang lebih menjanjikan ketimbang di daerahnya sendiri yang masih tergolong miskin ketika itu. Sedangkan di sisi lain, Presiden Soeharto memang menghendaki perwira-perwira tinggi TNI-AD dari etnis Minahasa yang dianggap loyal kepadanya untuk diangkat menjadi gubernur Sulawesi Utara . Sebab, dengan mengangkat perwira tinggi dari etnis Minahasa paling tidak bisa mengobati rasa kekecewaan mereka terhadap Pemerintah Pusat pada masa lalu, sementara etnis Gorontalo tidak terlalu dipikirkan oleh Pemerintah Pusat, karena di mata Pemerintah Pusat etnis ini tidak diragukan lagi loyalitasnya, baik kepada pemimpin nasional maupun NKRI.
Namun demikian, masyarakat Gorontalo pada masa awal Orde Baru tampak tidak merasa diabaikan baik oleh Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Pemerintah Pusat, karena strategi pembangunan ekonomi yang diterapkan Pemerintah Orde Baru melalui program Repelitanya langsung dirasakan manfaatnya. Pembangunan di bidang infrastruktur, kependudukan, pendidikan dan kebudayaan serta pengelolaan sumber daya alam Gorontalo yang cukup baik sehingga menempatkan daerah ini sebagai daerah percontohan di Sulawesi Utara .
Strategi pembangunan yang memberikan prioritas utama bagi pemulihan roda perekonomian oleh Pemerintah Pusat di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, benar-benar dirasakan manfaatnya oleh daerah-daerah luar Jawa pada umumnya, dan Gorontalo pada khususnya. Keadaan infrastruktur seperti pembangunan irigasi, perlistrikan, pengangkutan dan kominikasi, serta pendidikan dasar dan menengah sejak akhir dasawarsa 70-an menjadi lebih baik dibandingkan dengan sepuluh tahun sebelumnya. Oleh karenanya, afiliasi politik masyarakat Gorontalo yang tadinya di PSII, PNI, NU, dan Parmusi umumnya dengan mudah beralih ke Golkar seperti tampak pada hasil pemilu tahun 1977. Perbedaan-perbedaan latar belakang historis, sosial-politik dan kultural antara etnis Gorontalo yang minoritas di satu pihak dan etnis Minahasa yang mayoritas baik dalam stuktur pemerintahan (birokrasi) maupun dalam organisasi Golkar di lain pihak, tampak masih belum dipersoalkan.

Munculnya Kesadaran Batas Budaya dan Politik
Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai bidang, muncul pula kesadaran tentang batas-batas budaya (cultural boundaries) pada komunitas akademika IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo pada tahun 1980-an. Penulisan latar belakang sejarah perjuangan rakyat di daerah Gorontalo oleh komunitas akademika di Gorontalo yang bekerjasama dengan Yayasan 23 Januari 1942 di Jakarta merupakan awal munculnya kesadaran tentang batas-batas budaya masyarakat tersebut dalam era Orde Baru. Kesadaran ini semakin dipertegas ketika setelah beberapa tahun kemudian, dan terbitnya buku sejarah perjuangan rakyat Gorontalo, IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo memilih memisahkan diri dari induknya, Universitas Samratulangi Manado .
Ketika Letjen TNI-AD G.H. Mantik menjabat gubernur provinsi Sulawesi Utara, ia menelorkan sebuah konsep atau slogan kesatuan regional di daerah itu yaitu suatu kebijakan penyatuan daerah-daerah dalam suatu istilah Bohusami (Bolaang Mongondow, Hulontalo, Sangir, Talaud, dan Minahasa) yang bermakna penyeragaman. Istilah Bohusami dalam masyarakat Sulawesi Utara seolah-olah telah menjadi konsep kebersamaan hidup dalam keberagaman kebudayaan di daerah tersebut. Oleh karenanya, van Paassen melihat hubungan kerjasama dan realitas kehidupan antar pemeluk agama di antara beberapa kelompok etnis yang ada di daerah Sulawesi Utara ini berjalan relatif baik. Slogan “Bohusami” ini terus dipelihara sehingga sedemikian akrab dengan masyarakat Sulawesi Utara.
Pada saat Mayjen TNI-AD C.J. Rantung menjabat gubernur provinsi Sulawesi Utara (1985-1995), orang Gorontalo memandangnya bahwa, selain ia terlalu mementingkan kelompok-kelompok tertentu dalam kebijakan-kebijakannya, dan juga banyak kawan maupun lawan politik Rantung memanfaatkan sisi kelemahannya. Meskipun banyak kritikan menyangkut nepotisme ditujukan kepadanya karena dinilai terlalu banyak pejabat eksekutif maupun anggota legislatif adalah kliennya sehingga melahirkan istilah Rantungisme, namun kritikan-kritikan tersebut tidak dapat menggoyahkan posisinya. Kuatnya posisi Rantung di daerah tidak lain karena selain jabatan gubernur sekaligus sebagai ketua pertimbangan Golkar di daerah, dan juga karena ia didukung oleh Pemerintah Pusat, serta hubungan kedekatannya dengan Jenderal Tri Sutrisno .
Slogan kesatuan regional yang menyangkut kebijakan penyatuan daerah-daerah yang dicetuskan Mantik, kemudian dilanjutkan dengan slogan “Torang Samua Basudara” oleh gubernur Sulawesi Utara, Letjen TNI-AD, E.E. Mangindaan pada awal pemerintannya yaitu 1995. Slogan ini juga mendapat tempat di hati masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya karena, selain gaya kepemimpinan Mangindaan yang terkesan dekat dengan rakyat di semua lapisan, dan juga mungkin karena konsep “Kita Semua Bersaudara” itu merupakan doktrin kemaunusiaan yang universal. Kehadiran konsep tersebut pada saat yang bersamaan munculnya gejala disintegrasi bangsa Indonesia.
Gorontalo yang dikenal sebagai daerah dan masyarakatnya yang masih kental dengan adat-istidat yang berlandaskan pada ajaran Islam, terkesan begitu toleran selama kurang lebih 30 tahun daerah provinsi Sulawesi Utara dipimpin oleh orang-orang Minahasa yang notabene berlainan agama dengan orang Gorontalo. Pada hal, secara sosio-historis, masyarakat di daerah ini memandang bahwa mereka idealnya di pimpin oleh orang Gorontalo sendiri yang sekaligus mampu mengimplementasikan nilai-nilai adat dan agama yang mereka anut.

Penutup
Tatkala era Orde Baru berakhir maka masa reformasi pun melakukan perubahan sistem politik nasional, dengan menelorkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menggantikan Undang-undang No.5 tahun 1974 yang dinilai sangat sentarlistik itu. Masyarakat Gorontalo menilai Undang-undang No.5 Tahun 1974 telah melahirkan kesenjangan yang sangat tinggi antara daerah otonom tingkat yang lebih rendah dengan daerah otonom tingkat yang lebih tinggi. Pada kenyataannya, mereka merasa dianak-tirikan dengan status daerahnya sebagai wilayah pemerintahan daerah tingkat II. Selain mereka menganggap bahwa pembangunan sangat terkonsentrasi di wilayah ibukota (Manado dan Jakarta), dan juga merasa bahwa nilai-nilai budayanya dimanipulasi untuk penataan sosial secara sepihak oleh kelompok etnis yang berkuasa. Hal ini menimbulkan rasa kedaerahan yang kuat kemudian mengarahkan rakyat pada sebuah gerakan pemisahan diri dengan tuntutan pembentukan Provinsi Gorontalo.

Daftar Bacaan

Ali, Fahri dkk.
1998 Gobel Budaya dan Ekonomi, Tentang Wirausaha, Manajemen, dan Visi Industri Thayeb Mohammad Gobel, Jakarta: LP3ES.
Amal, Ichlasul
1993 Dimensi Politik Hubungan Pusat-Daerah: Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, dalam Hubungan Pusat-Daerah dalam Pembangunan (eds.) Colin MacAndrews & Ichlasul Amal, Jakarta: Rajawali Press.
Barbara, Harvey Sillars.
1989 Permesta: Pemberontakan Setengah Hati. Jakarta: PT. Pustaka Utama. Barth, Fredrick
1988 Ethnic Group and Boundaries. Boston : Little Brown.
Bastian, J
1985 Persekutuan Limboto dan Gorontalo, dalam Sejarah Lokal di Indonesia, T. Abdullah (ed.), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Brown, David
1994 The State and Ethnic Politics in Southeast Asia, London and New York: Routledge.
Crawford, Beverly & Ronnie D. Lipschutz
1998 The Myth of “Ethnic Conflict”: Politics, Ekonomics, and “Cultural” Violence. Berkeley: University of California.
Damis, Mahyudin
1999 Taptu-Hijrah di Kalangan Kaum Muda Islam Manado, Sulawesi Utara : Sebuah interpretasi. Tesis Magister, UGM Yogyakarta.
Geertz, Clifford.
1972 “The Politics of Meaning” dalam Culture and Politics in Indonesia, Claire Holt (ed.), Cornell University Press. Hal: 324.
Gurr, Robert Ted
1991 Why Man Rebel ?. New Jersey: Princenton University Press.
1993 Minorities at Risk: A Global View of Ethnopolitical Conflicts. Washington DC: United States of Peace Press.
Haga, B.J
1981 Lima Pahalaa: Susunan Masyarakat Hukum Adat dan Kebijaksanaan Pemerintahan di Gorontalo, karangan terjemahan Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde (KITLV) bersama LIPI. Jakarta: Jambatan.
Henley, David.E.F.
1992 Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies. Tesis PH.D, Australian National University, Canberra.
Koentjaraningrat
1982 “Lima Masalah Integrasi Nasional” dalam Koentjaraningrat (ed.), Masalah-Masalah Pembangunan : Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta : LP3ES.
Komite Pusat Pembentukan Provinsi Gorontalo (KP3GTR)
2000 Proposal Kelayakan Provinsi Gorontalo. Jakarta: Naskah ketik.

Mahfud MD, Mohammad
2000 Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000, hlm.
Mas’oed, Mohtar
1988 “Peranan Ilmu Politik dalam Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Ditinjau dari Bidang Ekonomi Politik”, dalam Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia.
Nur, Samin Radjik
1979 Beberapa Aspek Hukum Adat Tatanegara Kerajaan Gorontalo Pada Masa Pemerintahan Eato (1973-1679), Ujuangpandang: Unhas.
Nurdin, Hardi
2000 Sang Deklarator: Nelson Pomalingo dalam Sepenggal Sejarah Pembentukan Provinsi Gorontalo, Gorontalo: Presnas Publishing.
Paasen,Y.van
1982 Kerjasama Antar Agama dan Prospeknya: Kasus Sulawesi Utara, dalam Masalah-masalah pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: LP3ES.
Pemda Kabupaten Dati II Gorontalo & FKIP Unsrat di Gorontalo
1985 Empat Aspek Adat Daerah Gorontalo, (Peny.) Abdussamad, K dkk. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942.
Pengurus Besar Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo (PB.HPMIG)
2000 Hasil-hasil Musyawarah Besar V HPMIG. Gorontalo: Naskah ketik.
Presidium Nasional Pembentukan Provinsi Gorontalo/Tomini Raya.
2000 Profil Provinsi Gorontalo, Gorontalo: Naskah ketik.
Scott, James
1990 Domination and the Arts of Resistance : Hidden Transcripts, New Haven & London : Yale University Press.
Tacco, Richard
1956 Kebudayaan Suku Bangsa Gorontalo, Gorontalo: Tomiyahu Kebudayaan Lo Lipu.
Tim Teknis Penyusunan Data Kelayakan Provinsi Gorontalo, et,al.
2000 DataKelayakan Provinsi Gorontalo, Kodia Gorontalo: Naskah ketik.
Tim Yayasan 23 Januari 1942 & IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo.
1881 Perjuangan di Daerah Gorontalo Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi, Jakarta: PT.Gobel Dharma Nusantara, 1981.
Wantu, Sastro M.
1994 Pola Rekrutmen Elite Politik Golkar di Sulawesi Utara, Tesis S2 Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Wartabone, Nani
1968 Sejarah Singkat Perebutan Kekuasaan Terhadap Pemerintah Kolonial Belanda tanggal 23 Januari 1942. Panitia Peringatan Peristiwa 23 Januari 1942 ke 31, Suawawa.
Young, Crawford
1996, The Political of Cultural Pluralism, Madison, University of Wisconsin Press.

1 Response to "“Mengapa Gorontalo Memisahkan Diri?”"

laskar_pertanianindonesia mengatakan...

Tulisan yang bagus pak. Sangat sulit mencari referensi ttg kepemimpinan gtlo di masa lampau

Posting Komentar