Prioritaskan Masa Depan Unsrat

Oleh: Mahyudin Damis

SUKSESI rektor Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado yang diperkirakan berlangsung pada awal Oktober, kini cukup hangat diperbincangkan akademisi Unsrat saat ini. Proses suksesi rektor memang seharusnya dianggap moment penting, sehingga civitas akademika selaku penyelenggara diharapkan mampu menjadi contoh utama dalam mewujudkan cita-cita universitas sebagai pusat semua unggulan. Bagaimana menjadikan Unsrat sebagai pusat semua unggulan di Sulawesi Utara? Untuk menjawab pertanyaan penting ini, seyogyanya kita belajar dari sejarah dan humaniora karena mereka adalah guru yang akan membawa manusia (senat, rektor, dan dekan) kepada kearifan.
Sejak Universitas Sam Ratulangi ditetapkan menjadi universitas negeri dengan SK Presiden RI No. 227 tertanggal 14 September 1965, begitu banyak nilai-nilai (values) dan pelajaran yang bisa ditarik dari sejarah perjalanan Unsrat dan kehidupan para rektornya dari satu periode ke periode berikutnya. Sementara humaniora atau bidang ilmu tentang kemanusiaan dapat menjelaskan kepada kita, bagaimana para senat, rektor, dan dekan menghadapi perubahan dalam setiap bentuknya. Artinya, banyak hal yang bisa kita petik dari contoh-contoh pengalaman para pengambil keputusan di Unsrat masa lampau. Kita bisa memilih mana yang patut kita lakukan, dan mana pula yang patut kita tinggalkan. Dan, kita juga bisa melihat apa yang dilakukan para pemimpin di universitas-universitas terkemuka saat ini, serta bagaimana mereka berusaha melahirkan kampus masa depan.

Konteks Suksesi 2007
Pada pertengahan tahun ini media-media cetak lokal banyak memberitakan kondisi Unsrat belakangan ini. Isi beritanya cukup memprihatinkan masyarakat Sulawesi Utara, karena mahalnya biaya pendidikan, dan munculnya berbagai pungutan lainnya, serta upaya pihak rektorat menaikkan status Unsrat dari Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Pendidikan/ BHMN. Paroh tahun ini pula suksesi rektor hampir setiap hari diberitakan. Yang diwacanakan para akademisi masih seputar Kepmendiknas 284/1999 tentang pengangkatan dosen sebagai pimpinan perguruan tinggi dan pimpinan fakultas, kemudian tentang kekhawatiran molornya pengangkatan panitia pemilihan rektor, wacana tentang kesetaraan jender, rektor laiknya ‘’figur muda, berani, dan kritis’’, serta wacana tentang rektor bergelar sarjana strata S1, S2 dan S3, hingga berita tentang peta kekuatan masing-masing fakultas dengan menampilkan statistik senat Unsrat.
Bila kita cermati dari 10 calon rektor Unsrat saat ini (Manado Post, 10/08/2007), terdapat 5 calon bergelar doktor (S3) dan 5 calon bergelar magister (S2 plus S1). Kemudian, dari 10 calon tersebut terdapat 5 calon telah menjadi guru besar, dan 5 calon lainnya belum menjadi guru besar. Realitas sosial ini memperlihatkan kepada kita bahwa di Unsrat masih menempatkan calon rektor yang bergelar Profesor S1, (S2 belum Profesor), (S3 belum Profesor), dan Profesor S3.
Kemudian, terlepas dari akurat dan tidaknya hasil survei Dirjen Dikti tahun 2007, Unsrat ternyata tidak masuk dalam jajaran 50 Perguruan Tinggi Unggulan di Indonesia. Bahkan Universitas Tadulako (Untad) Palu yang usianya relatif jauh lebih muda dibandingkan dengan Unsrat justru telah masuk dalam jajaran universitas unggulan.
Antara Idealisme dan Realitas Sosial
Konteks suksesi 2007 di atas menunjukkan bahwa apa yang disuarakan para akademisi Unsrat menjadi bobot pemicu perbincangan. Aspirasi dari para akademisi saat ini dapat digolongkan atas 2 kategori, yaitu; Pertama: suara yang menginginkan rektor berikutnya harus Doktor, plus memiliki moralitas, dan kedua: Tidak harus doktor, tapi bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Secara ideal, sebuah perguruan tinggi atau sebuah universitas memang seharusnya dipimpin oleh; selain dosen yang telah memiliki gelar akademik tertinggi (Professor Doktor), dan juga harus memiliki moralitas yang tinggi. Sebab, rektor merupakan representasi dari institusi yang ia pimpin. Namun demikian, untuk konteks Unsrat saat ini, penulis kira Professor Doktor saja tak cukup jika figur tersebut tidak memiliki --- memijam konsep Ary Ginanjar Agustian (2007), yaitu 7 prinsip nilai dasar hidup manusia, misalnya: 1. Jujur, 2. Tanggungjawab, 3. Visioner, 4. Disiplin, 5. Kerjasama, 6. Adil, dan 7. Peduli.
Sehubungan dengan Kepmendiknas 284 tahun 1999, aspirasi yang berkembang di Unsrat saat ini menunjukkan bahwa tidak sedikit pula akademisi yang menginginkan rektor baru tidak harus doktor, tapi bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini tampak dalam pernyataan mereka yang dipublikasikan; ‘’kurang lebih 10 tahun Unsrat telah dipimpin oleh rektor yang bergelar Professor Doktor, tapi tidak membawa perubahan yang signifikan’’. Apa makna di balik pernyataan tersebut bila dikaitkan dengan Kepmendiknas 284 tahun 1999? Mungkin hal ini dapat dimaknai bahwa pernyataan itu adalah sebuah contoh kasus yang memperlihatkan kekuataan Kepmendiknas 284 tahun 1999. Mungkin ketika aturan ini dibuat, si pembuat aturan dengan bijaksana harus mempertimbangkan pula realitas sosial perguruan tinggi secara nasional, bahwa tingkat keunggulan masing-masing perguruan tinggi di Indonesia tidaklah sama. Oleh sebab itu, calon rektor suatu perguruan tinggi di Indonesia tidak harus bergelar doktor.

Rektor, Jabatan Akademik
Tugas pokok senat yang dijabarkan dalam Statuta Unsrat jelas merupakan tugas-tugas yang sangat strategis sehingga bila dapat diimplementasikan dengan dilandasi 7 prinsip nilai dasar hidup manusia tadi, besar kemungkinan akan mampu membuat perubahan yang cukup signifikan di Unsrat, atau tidak lagi berada di bawah level unggulan Universitas Tadulako (Untad) Palu.
Rektor adalah jabatan akademik, bukan jabatan politik. Seharusnya, pola-pola pemilihan langsung yang merupakan penerapan dalam kehidupan politik tidak seenaknya diadopsi ke dalam lingkungan kampus. Penulis sangat setuju dengan mantan rektor UGM Yogyakarta, Prof. Sofian Effendi (2006) yang menyatakan, ‘’tidak pas menerapkan tata cara politik dalam organisasi akademis karena money politic akan bermain di dalamnya’’.
Civitas akademika dan masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya tentu berharap lebih kepada senat universitas agar tak tergoda oleh kekinian saja. Apa yang sekarang sedang menjadi tren, tidak terbius olehnya, sehingga masa depan Unsrat sempat terpikirkan. Pilih figur yang benar-benar dibutuhkan Unsrat saat ini dan masa yang akan datang. Semoga Senat Unsrat diberi kearifan dan kebesaran jiwa dalam memilih rektor Unsrat yang baru, yang bisa menghantarkan Unsrat ke arah yang lebih baik dan lebih membanggakan ...! Amin...#

Artikel ini dimuat di Harian Manado Post, 2007.

No Response to "Prioritaskan Masa Depan Unsrat"

Posting Komentar